"Musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum, membuat konten pornografi, memprovokasi pertentangan antar kelompok, menodai agama, membawa pengaruh negatif budaya barat dan merendahkan harkat martabat manusia."
Pertanyaannya, siapa yang hendak membuat karya berisi hal-hal tadi?
Kalau orang barat sangat biasa melihat perempuan sekedar berkancut dan berbeha, adakah di sini yang berani melakukannya? Jika ternyata dianggap biasa, besar kemungkinan bahwa pengaruh itu sudah masuk sampai ke tulang sumsum. Saya sebagai laki-laki Indonesia, merasa tak mampu nahan diri melihat pemandangan macam itu.
Di satu sisi, jika pemerintahan di tengah jaminan kebebasan berpendapat ini dianggap anti kritik, bisa saja bagian ini menjadi pasal karet. Namun jika tak ada niatan seperti itu, rasanya tak ada masalah jika pasal ini diloloskan jika mempertimbangkan tanggung jawab sosial tadi.
Saya tak sepakat jika musik dikatakan sebagai satu-satunya bahasa universal yang bisa dipahami siapapun. Soalnya, ada satu lagi bahasa yang jauh bisa dipahami siapapun tanpa batasan latar belakang usia, intelektual dan lain sebagainya.
Bahasa tersebut adalah pornografi atau sebut saja bokep. Dan musik, kadang mengandung unsur itu dengan goyangan erotis berdalih seni. Lagi pula, aturan tinggal aturan. Soal pakai helm dan tak terobos lampu merah saja, masih lirak-lirik lantas biasa saja. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H