Mohon tunggu...
Bobby Junaidi
Bobby Junaidi Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang Apa Saja

Gue tuh orangnye ...

Selanjutnya

Tutup

Music

Musik dan Porno sebagai Bahasa Universal

5 Februari 2019   10:16 Diperbarui: 5 Februari 2019   10:38 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tak sedikit musisi tanpa label besar menyuguhkan tarian mengundang selera birahi. Ini kemudian viral dan diadopsi media mainstream seperti televisi. Tampilannya sedikit dimodifikasi tanpa menyuguhkan bagian sensitif biduanita seperti belahan dada apalagi jurang selangkangan. Kalau lekukan dan tarian hot seperti goyang drible duo serigala, masih bolehlah.

Di bagian ini, jelas sekali kalau sektor indie dicaplok pemilik modal besar dan menjelma jadi industri berbungkus baru namun berisi sama saja.

Indie sudah kehilangan kesejatiannya seperti era-era terdahulu. Saat musisi merdeka menyodorkan gagasan tentang suatu persoalan via musik yang kadang terkesan garang namun tetap memperhatikan unsur laku dijual atau tidak, kini indie sekedar tak dipasarkan Musica, Nagaswara atau label terkenal lainnya.

Kalau dulu indie tak cuma merekam dan mengedarkan sendiri, kefasihan mereka bertutur soal di luar menye'-menye' juga jadi pemberat bobot karya. Namun kini, soal apapun di luar musik sudah jadi indie dan benar-benar melampaui batas.

Soalnya sistematika produksi dan penyiarannya mudah sekali. Bermodal kamera hape dan akun media sosial, sebuah karya entah berbobot kuat atau bermuatan sampah bisa terpublikasi dengan segera tanpa menunggu daftar antrian.

Produk viral, tinggal tunggu saja undangan televisi guna mengudara di jalur komersial dan mendulang potensi materi tentunya. Namun tetap, banyak aturan main layaknya non indie yang kudu dipatuhi.

Tanggung Jawab Produsen

Indie sudah benar-benar tersamarkan dan pemerintah menginginkan ada tanggung jawab sosial pasca sebuah karya disodorkan ke muka umum. Betul, konsep ini diusung Orde Baru guna menjaga kestabilan mental konsumen dan selanjutnya demi kepentingan stabilitas nasional.

Meski aturan ini lahir di masa media tak seriuh sekarang, rasanya kudu diperhatikan betul-betul sebab sangat relevan dengan kondisi terkini. Sebab tanpa tanggung jawab, bukan tak mungkin nantinya pendengar bakal berperilaku seperti yang dituturkan atau disuguhkan sebuah pertunjukkan musik.

Jangan katakan soal tanggung jawab sosial tak penting sama sekali. Anda tentu ingat soal kepopuleran smack down. Saat anak-anak kecil meniru kemudian membanting temannya hingga tak sedikit yang berakhir di rumah sakit.

Jika pasal 5 RUU Permusikan dianggap membelenggu kreatifitas musisi, rasanya perlu dikaji ulang kedua belah pihak yang kini berseteru. Soalnya isinya begini :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun