Mohon tunggu...
Y. B. Inocenty Loe
Y. B. Inocenty Loe Mohon Tunggu... Guru - Instruktur Pembelajaran Kreatif, Penulis, Kandidat Magister Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Yohanes Baptista Inocenty Loe, Saat ini menjadi kandidat Magister Teknologi Pendidikan di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Ia bekerja sebagai pendidik di salah satu sekolah swasta di kota Kupang, sekaligus menjadi instruktur pelatihan menulis dan pembelajaran kreatif berbasis digital di NTT. Sebagai seorang instruktur menulis, karya-karyanya telah diterbitkan di media massa cetak maupun online. Ia telah menerbitkan tiga buku yaitu Kisah Para Pelukis Wajah Bangsa, Literasi di Atas Awan dan buku terbarunya berjudul Prinsip-Prinsip Demokrasi John Rawls (Menguak Kebebasan dan Kesetaraan). Selain itu, ia juga adalah editor yang telah mengedit puluhan buku dan membantu banyak pihak untuk menerbitkan bukunya. Sebagai pelatih pembelajaran kreatif berbasis digital, ia banyak kali diundang ke berbagai kesempatan di wilayah NTT untuk berbagi inspirasi dan motivasi. Kemampuannya ini telah dibuktikan dengan berbagai pencapaian dan penghargaan yang diraihnya. Pada 2021, dinobatkan sebagai penulis aktif tingkat Nasional dan guru aktif literasi tingkat nasional. Di bidang pembelajran kreatif berbasis digital, seluruh karya dan inovasinya pernah ditanyakan di TVRI Nasional pada program Inspirasi Indonesia, akhir 2022 lalu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masa Depan Pendidikan Indonesia (Setelah 25 Tahun Tertinggal)

23 Februari 2024   10:19 Diperbarui: 23 Februari 2024   10:50 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Y. B. Inocenty Loe

Profil wajah pendidikan Indonesia 25 tahun terakhir menunjukkan kondisi darurat. Beberapa analisis baik yang berskala nasional maupun internasional menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Selain itu, paska pandemi Covid 19, isu-isu kemerosotan ini menjadi bentuk kehebohan tersendiri. Pasalnya, muncul kesadaran bahwa learning loss akibat pandemi dapat menghambat kemajuan ekonomi dan cita-cita bonus demografi tahun 2045 mendatang. Tentu saja, publik menantikan kebijakan pemerintah yang mampu mengatasi situasi darurat ini. Kemunculan Merdeka Belajar, oleh pemerintah dianggap sebagai jawaban atas penantian tersebut. 

Meskipun demikian, dukungan terhadap Merdeka Belajar harus ditanggapi secara kritis. Bukan menolak, bukan juga menerima begitu saja. Artinya, dukungan terhadap komitmen dan tanggung jawab pemerintah untuk memajukan pendidikan harus tetap ada, namun pada saat yang sama, catatan kritis dari berbagai elemen menjadi syarat penting. Bukan kritik tetapi kritis. Tujuannya agar pemerintah tidak semana-mena tetapi selalu mawas diri dan sangat serius dalam memajukkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini juga berarti, cita-cita percepatan kualitas pendidikan Indonesia harus lahir dari kerja sama lintas batas, antara semua elemen bangsa.

Situasi pendidikan Indonesia yang sedang darurat tidak berarti hilangnya kesempatan untuk bangkit. Namun, haruslah dimaknai sebagai momentum untuk menjadi yang terbaik. Tulisan ini lahir sebagai panggilan yang nyata dalam tiga refleksi penting, yaitu refleksi ontologis, epistemologis dan aksiologi. Refleksi ontologis nyata dalam membangun kesadaran bahwa persoalan pendidikan adalah sungguh-sungguh realistis dan harus dihadapi dengan cara yang realistis. 

Baca juga: Nilai atau Belajar?

Jangan pernah mengambil sikap bahwa pendidikan Indonesia sedang baik-baik saja. Kesadaran ini mendorong lahirnya proses epistemologis, yaitu pencarian akan solusi terbaik bagi pendidikan Indonesia. Solusi tersebut harus datang dalam kebersamaan lintas batas, melibatkan semua pihak. Jika itu berjalan baik, maka dapat mencapai komitmen aksiologis, bahwa pendidikan bukan hanya tentang menyediakan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga tentang menghadirkan sesuatu yang bernilai bagi manusia dan makhluk ciptaan.

Dari tiga refleksi di atas, tulisan dengan judul Masa Depan Pendidikan Indonesia akan membahas beberapa gagasan penting. Pertama, menguraikan problematika pendidikan Indonesia, sehingga bisa dibangun kesadaran untuk memperbaiki diri. Selanjutnya, pentingya kesadaran akan pendidikan yang berakar dalam ajaran Ki Hajar Dewantara. Dan terakhir, bagaimana mendorong komitmen untuk mengedepankan pendidikan nilai dan memotivasi tanggung jawab pembangunan manusia di era ini?

Problematika Pendidikan Indonesia

Sudah dijelaskan bahwa pendidikan Indonesia dalam 25 tahun terakhir sedang mengalami masa darurat. Hal ini dibuktikan dengan berbagai survey baik yang berskala nasional maupun internasional. Hasil berbagai survei, termasuk Studi PISA, menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia mengalami penurunan secara signifikan. Pada tahun 2009, Indonesia berada pada peringkat 57 dari 65 negara dalam Studi PISA, namun pada tahun 2018, peringkatnya turun menjadi 74 dari 79 negara. Pada tahun 2022, peringkat Indonesia menjadi 68 dari 81 negara. Selain itu, Survey UNESCO (2000) juga menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun, dengan peringkat yang terus menurun dari tahun ke tahun.

Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000) juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang rendah, dan hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Selain itu, kualitas pendidikan Indonesia yang rendah juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari ribuan sekolah di Indonesia, hanya sedikit yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), The Middle Years Program (MYP), dan The Diploma Program (DP). Meskipun terjadi kenaikan peringkat pada PISA 2022, Indonesia mengalami penurunan skor pada masing-masing subjek penilaian kemampuan membaca, matematika, dan sains. Hal ini menunjukkan bahwa situasi pendidikan di Indonesia masih memerlukan perhatian serius dan upaya perbaikan yang berkelanjutan.

Dalam konteks situasi pendidikan Indonesia yang menunjukkan berbagai permasalahan, penting untuk membangun kesadaran ontologis bahwa masalah pendidikan Indonesia sangatlah realistis. Hasil survei, seperti Studi PISA misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia selalau berada di peringkat-peringkat akhir. Dengan demikian, penting untuk tidak berpura-pura bahwa pendidikan Indonesia sedang baik-baik saja, melainkan untuk mengakui bahwa masalah pendidikan Indonesia adalah sesuatu yang nyata dan harus ditangani secara serius. Dalam hal ini, pemahaman ontologis tentang kondisi pendidikan Indonesia akan membantu dalam merumuskan langkah-langkah perbaikan yang lebih realistis dan efektif. Lantas, apa saja persoalan pendidikan di Indonesia?

Pertama, rendahnya sarana fisik di Indonesia menjadi salah satu masalah pendidikan yang signifikan. Infrastruktur pendidikan di Indonesia masih mengalami keterbatasan, terutama di daerah pedesaan. Hal ini menyebabkan ketimpangan akses pendidikan antara perkotaan dan pedesaan. Fasilitas dan kualitas pendidikan di perkotaan umumnya lebih baik daripada di pedesaan. Anak-anak dari keluarga miskin sering mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan berkualitas. Lebih dari itu, sarana fisik masih bersifat formalitas dan belum menyentuh aspek peningkatan kualitas. Bagunan sekolah misalnya lebih kepada tempat berkumpul bukan tempat belajar, memperoleh inspirasi, memperkuat motivasi dan mengeksplorasi pengetahuan. Ruang kelas masih apa-adanya, tempat untuk berkumpul dan mendengarkan pelajaran, bukan tempat untuk bereksperimen dan mempelajari sesuatu yang berguna. D era ini, ketika Artificial Intelengency dan Virtual Reality menjadi tren baru dalam pendidikan. Rasa-rasanya, sarana fisik pendidikan Indonesia menjadi samakin ketinggalan zaman.

Kedua, Rendahnya kualitas guru. Tantangan terkait kualitas guru dan tenaga pendidik di Indonesia masih ada. Kurangnya pelatihan yang berkualitas, keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten di bidang pendidikan, serta kurangnya personalia guru pascasarjana menjadi indikasi kuat rendahnya kualitas guru. Ada kecenderungan bahwa sistem perekrutan guru dipandang hanya untuk memenuhi standar penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Yang terpenting kuantitas bukan kualitas. Padahal, di era saat ini, yang syarat dengan kompetisi dan era super cerdas, kualitas harus menjadi prioritas. Para guru masih menjadikan transfer pengetahuan sebagai point utama dalam pengajaran. Mestinya, cara-cara seperti ini telah ditinggalkan. Para guru harusnya diperketat dengan pelatihan dan pendidikan lanjut (pascasarjana). Bukan hanya pelatihan terkait hal-hal yang sifatnya administratif, tetapi harus lebih kepada hal-hal yang substantif seperti menjadi guru kreatif dan inovatif di abad ini. Beberapa tahun menjadi guru, saya melihat sekolah-sekolah terlalu fokus pada pelatihan yang sifatnya administratif, misalnya pembuatan RPP, penyusunan bahan ajar dan sebagainya. Sayangnya, tidak disentuh terkait kemampuan public speaking atau metode andragogi bahkan heutagogi. Di sisi lain, guru-guru telalu fokus pada pengembangan pembuatan soal pilihan ganda untuk ulangan atau ujian. Di era ini, tema-tema yang terkait pembuatan soal rasanya menjadi sangat usang, bukan berarti tidak penting.

Ketiga, kesejahteraan guru. Masih tentang rendahnya kualitas guru. Harus diyakini bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas guru di Indonesia adalah soal kesejahteraan guru yang jauh dari batas normal. Hal ini tercermin dari rendahnya gaji dan tunjangan yang diterima oleh sebagian besar guru. Ada istilah dalam bahasa latin, Primum vivere, deinde philosophari. Frasa Latin yang berarti, pertama-tama hidup, kemudian memikirkan tentang filsafat. Frasa ini menekankan pentingnya memprioritaskan kebutuhan dasar kehidupan sehari-hari sebelum memikirkan hal-hal yang lebih abstrak atau filsafat. Itu artinya, para guru harus disejahterakan terlebih dahulu sehingga mampu untuk menjadi semakin kreatif dan inovatif. Bagaimana mungkin  menjadi guru futuristik yang terbuka terhadap kemajuan teknologi digital, jika gurunya belum sejahtera. Dengan adanya tren Artificial Intelengency dan Virtual Reality dalam dunia pendidikan, menjadikan para guru semakin usang di tengah situasi ini. Bagaimana mau mengeksplorasi tren-tren ini jika akses membeli kuota internet saja harus diwanti-wanti dengan kebutuhan makan minum.

Keempat, rendahnya prestasi siswa. Prestasi siswa Indonesia di ajang nasional dan internasional masih menunjukkan angka yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Bukan hanya soal prestasi ujian tetapi prestasi mengikuti lomba-lomba nasional dan internasional. Masih banyak sekolah yang menganggap bahwa prestasi itu berkaitan hanya pada lomba cerdas cermat, lomba pidato, lomba Olimpiade Sains Nasional dan sebagainya. Jika itu yang menjadi ukurannya, maka kualitas pendidikan Indonesia tidak akan bangkit dari ketermpurukkan. Pendidikan harus melahirkan juga atlet olahraga tingkat nasional dan internasional, para aktor dan aktris, para konten kreator, para pegiat seni dan sebagainya. Tinggalkan fokus pada sains dan mulai dengan hal yang lebih besar. Prestasi siswa harus mempertimbangkan bakat dan kemampuannya, bukan pada apa yang diinginkan sekolah.

Kelima, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Harus diakui bahwa sistem pendidikan Indonesia tidak menjamin masa depan. Ada anggapan bahwa masa depan para pelajar masih sangat spekulatif. Artinya lembaga pendidikan tidak menjamin masa depan yang cerah bagi generasi penerus bangsa. Menurutnya, masa depan itu mutlak menjadi tanggung jawab dari setiap individu. Gagasan seperti ini muncul karena tidak ada relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Ada orang yang lulusan fisika murni akhirnya menjadi pegawai koperasi. Lulusan pendidikan keguruan menjadi debt collector. Berbeda dengan negara maju, pilihan terhadap pendidikan sangat mempengaruhi pekerjaan. Perusahan-perusahaan membutuhkan individu yang mahir di bidangnya.

Keenam, mahalnya biaya pendidikan. Biaya pendidikan yang tinggi menjadi hambatan dalam akses pendidikan yang merata dan berkualitas. Hal ini menyebabkan kesenjangan akses pendidikan antara masyarakat kaya dan miskin. Sekolah yang mahal biasanya menawarkan fasilitas dan sumber daya yang lebih baik, termasuk kurikulum yang lebih unggul, teknologi pendidikan yang mutakhir, dan lingkungan belajar yang lebih baik. Namun, sebagian besar warga Indonesia yang masih di bawah garis kemiskinan tidak mampu untuk berada di sekolah tersebut. Mahalnya biaya pendidikan menjadi hambatan utama dalam akses pendidikan yang merata dan berkualitas. Hal ini menyebabkan kesenjangan akses pendidikan antara masyarakat kaya dan miskin.

Problematika pendidikan Indonesia ini menjadi sebuah ingatan untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik. Dengan ini, sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk membangun kesadaran ontologis bahwa masalah pendidikan Indonesia sangat realistis dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Upaya untuk mengatasi masalah ini antara lain adalah dengan meningkatkan akses pendidikan yang terjangkau dan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan di semua tingkatan.

Refleksi atas Ajaran Ki Hajar Dewantara

Memandang wajah pendidikan Indonesia harus dimulai dengan merefleksikan tiga ajaran penting Ki Hajar Dewantara. Refleksi ini bukan hanya dikhususukan bagi para pendidik tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia. Sebab membangun pendidikan yang berkualitas harus lahir bukan dari pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Ki Hajar Dewantara mengajarkan:

Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan harus memberi teladan). Semua warga Indonesia harus belajar untuk memberikan teladan yang baik. Orang-orang dewasa harus menciptakan iklim keteladanan bagi anak-anak yang lebih muda. Seorang tokoh pemimpin harus menjadi contoh bagi orang-orang yang dipimpinnya dan berusaha untuk membantu anak-anak untuk menjadi orang yang cerdas dan berkarakter. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa (di tengah memberi bimbingan). Orang tua dan masyarakat harus berjuang bersama anak-anak untuk membangun cita-cita dan impian mereka. Bukan hanya guru, tetapi semua pihak harus memberikan bimbingan terhadap pembentukan pengetahuan, keterampilan dan perilaku anak-anak bangsa Ketiga, Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan): Guru, orang tua, dan masyarakat harus menghadirkan motivasi dan inspirasi bagi siswa. Orang tua dan masyarakat harus menghadirkan kondisi kebersamaan agar anak-anak yakin akan komitmen dan tanggung jawab mereka sebagai pelajar.

Pesan dan ajaran Ki Hajar Dewantara ini menjadi jelas dalam refleksi Iwan Syahrir, seorang tokoh pendidikan Indonesia. Ia mengemukakan lima prinsip utama dalam transformasi pendidikan di Indonesia. Pertama, pendidikan harus memerdekakan dan tidak memenjarakan kreativitas dan imajinasi peserta didik. Kedua, pendidikan tidak boleh membungkam rasa ingin tahu peserta didik yang tidak tersentuh oleh buku teks dan soal ujian. Ketiga, pendidikan harus memberi contoh konsisten implementasi tutur, tindak, dan perilaku norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Keempat, pendidikan harus menjadi bagian pembangunan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika dan tidak menyemai bibit curiga, benci, dendam, dan permusuhan. Kelima, pendidikan harus menciptakan budaya belajar yang dicontohkan oleh semua para pendidik, di mana pembelajar selalu mencari pengetahuan terkini dan terus mencari berbagai cara mengajar kreatif dan efektif.

Tujuan pendidikan nasional di Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia. Pendidikan memiliki pengertian sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian.

Pendidikan sebagai Refleksi atas Nilai

Pembicaraan tentang pendidikan sebagai refleksi atas nilai merupakan topik yang cukup menarik. Pasalnya, kebayakan orang memahami nilai sebagai yang baik. Sesuatu yang bernilai adalah sesuatu yang baik. Namun, di balik gagasan ini, baik tidak dapat didefinisikan. Tidak dapat didefinisikan bukan berarti tidak dapat dijelaskan. Yang baik sesungguhnya adalah pengetahuan prareflektif yang tidak bisa didefinisikan. Di dalam dirinya, yang baik sulit untuk diberikan batasan pemahaman. Oleh karena itu, menurut George Edward Moore, yang baik itu seperti kuning. Kuning tidak dapat didefinisikan, ia hanya berarti jika dilekatkan dengan sesuatu yang lain, misalnya tas berwarna kuning. Demikian pun, yang baik hanya memiliki arti jika dilekatkan dengan sesuatu yang lain, misalnya perilaku yang baik. Berdasarkan gagasan ini, pendidikan sebagai refleksi atas nilai sebenarnya merujuk kepada perilaku sebagai manusia yang baik. Perilaku sebagai manusui yang baik, memiliki arti yang sungguh-sungguh luas. Manusia yang memiliki perilaku yang baik nyata dalam pengetahuan, tindakan, cara berada dan cara hidup bersama yang dapat diterima secara moral dan etika.

Dari pendasaran ini, pendidikan Indonesia oleh Soedijarto, seorang praktisi pendidikan Indoensia,  harus dilihat sebagai pendidikan moral dan menurut Martin Buber, seorang filsuf eksistensialis, hal ini dianggap sebagai pendidikan karakter. Pendidikan moral dan pendidikan karakter pada dasarnya merupakan pendidikan nilai. Keduanya menekankan pentingnya membangun sesuatu yang bernilai, berguna, atau memiliki kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Oleh karenanya pendidikan harusnya dipahami dalam konteks aksiologis, memperlebar praktik kebaikan di tengah dunia. Pendidikan nilai yang membentuk karakter, pada akhirnya harus nyata dalam gagasan Immanuel Kant untuk selalu berntindak dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusia, yang nyata dalam penghargaan terhadap kemanusiaan diri sendiri dan juga kemanusia pada orang lain. Penghargaan itu harus dimaknai bukan sebagai sarana untuk kepentingan priadi atau kelompok tetapi untuk mencapai tujuan bersama.

Pandangan Soedijarto yang menempatkan pendidikan moral sebagai misi utama pendidikan nasional mencerminkan kesadaran akan pentingnya pembentukan karakter yang baik dalam masyarakat, sebagaimana klaim Martin Buber. Namun, dalam praktiknya, implementasi pendidikan moral di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Meskipun pendidikan moral dianggap penting, kurangnya perhatian yang serius terhadap nilai-nilai moral dalam lingkungan sekolah dan masyarakat telah menyebabkan degradasi moral di kalangan pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan moral tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga memerlukan dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan masyarakat secara luas. Gap yang jauh antara sekolah dan kehidupan masyarakat bisa mengaburkan dukungan terhadap pendidikan nilai.

Pendidikan yang bernilai, secara aksiologis menekankan pentingnya peran pendidikan untuk membangun sesuatu yang bernilai, berguna, atau memiliki kebaikan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Sekali lagi sebagai penegasan bahwa pendidikan nilai harus mengedepankan gagasan Immanuel Kant tentang imperatif kategoris. Sebuah tindakan haruslah menghargai martabat kemanusiaan, baik dalam diri sendiri maupun dalam diri orang lain, dan tindakan tersebut harus dianggap sebagai tujuan, bukan sekadar sarana. Dengan demikian, pendidikan harus mampu menghadirkan sesuatu yang bernilai dalam kehidupan ini, dan nilai-nilai tersebut harus tercermin dalam tindakan yang bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Di era super cerdas ini, manusia harus terpanggil untuk menghargai kemanusiaan, bukan sebagai sarana untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi sebagai tujuan untuk menciptakan kebaikan bersama.

Gagasan ini memiliki implikasi yang sangat penting. Pendidikan yang bernilai harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan dan bagaimana nilai-nilai tersebut tercermin dalam tindakan mereka sehari-hari. Hal ini memerlukan pendekatan pendidikan yang holistik, yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pengembangan karakter dan etika manusia. Selain itu, pendidikan juga harus mendorong manusia untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, implementasi pendidikan yang bernilai mungkin menghadapi tantangan. Misalnya, dalam lingkungan pendidikan yang terfokus pada pencapaian akademis, seringkali nilai-nilai kemanusiaan dan etika tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Selain itu, penilaian terhadap keberhasilan pendidikan seringkali hanya berfokus pada pencapaian akademis, tanpa memperhatikan perkembangan karakter dan etika. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pendidikan yang bernilai, diperlukan perubahan dalam pendekatan pendidikan dan penilaian yang lebih holistik.

Selain itu, pendidikan yang bernilai juga harus mampu mengatasi tantangan-tantangan kontemporer. Di era super cerdas ini, di mana teknologi dan informasi semakin mendominasi kehidupan manusia, pendidikan harus mampu mengajarkan manusia bagaimana menggunakan teknologi secara etis dan bertanggung jawab. Selain itu, pendidikan juga harus mendorong manusia untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat yang semakin terhubung dan kompleks.

Pembangunan Manusia Era ini: Manusia Futuristik

Pembangunan manusia pada era ini harus mendorong lahirnya manusia futuristik, yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman. Gagasan ini tercermin dalam konsep pendidikan abad ke-21 menurut UNESCO, yang terdiri dari empat pilar, yaitu belajar untuk mengetahui, belajar untuk melakukan, belajar untuk menjadi, dan belajar untuk hidup bersama. Pendidikan harus mempersiapkan individu untuk memahami dunia sekitarnya, mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, terus berkembang, dan mampu berinteraksi secara positif dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan harus menghasilkan individu yang adaptif, inovatif, dan mampu berkontribusi secara positif dalam dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.

Pertama, belajar untuk mengetahui. Di era ini, setiap orang harus belajar untuk mengetahui. Bukan hanya belajar tentang pelajaran tertentu, tetapi belajar untuk memahami realitas dunia. Memahami realitas dunia sangat penting karena membantu manusia untuk memahami dan menghadapi tantangan serta perubahan yang terjadi di dunia. Memahami realitas dunia membantu manusia untuk memahami dunia sekitarnya, meningkatkan kemampuan mereka, dan bekerja sama dengan orang lain. Selain itu, membantu manusia untuk memahami diri mereka sendiri, motivasi, tujuan hidup, dan bagaimana mereka berhubungan dengan lingkungan di sekitar mereka. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas dunia, manusia dapat memperoleh wawasan yang lebih baik tentang apa yang dibuthkan ke depan, sehingga dunia ini menjadi rumah yang nyaman bagi manusia.

Kedua, Belajar untuk melakukan. Belajar untuk melakukan merupakan aspek penting dalam pendidikan. Pendidikan harus meninggalkan pendekatan yang terlalu fokus pada pengetahuan dan jauh dari aspek pelaksanaan. Manusia era ini harus membekali dirinya bukan hanya dengan pengetahuan tetapi dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu, mewujudkan pengetahuan tersebut. Manusia harus memiliki segudang kemampuan atau keterampilan yang dapat menciptakan masa depan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan konsep merdeka belajar menurut Ki Hajar Dewantara, yang menekankan bahwa belajar merdeka berarti merdeka atas diri sendiri, di mana minat dan bakat siswa harus merdeka untuk berkembang seluas mungkin. Dengan demikian, pendidikan harus diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, yang mampu mewujudkan pengetahuan dalam tindakan nyata, serta memiliki keterampilan dan kemampuan yang dapat menciptakan masa depan yang lebih baik.

Ketiga, belajar untuk menjadi. Belajar untuk menjadi adalah konsep bahwa manusia era ini harus terus belajar mengetahui dan melakukan banyak hal produktif, sehingga mereka berada pada satu titik terpenting yaitu belajar menjadi cerdas dan futuristik. Richard Rorty menegaskan bahwa manusia adalah kosa kata akhir, bahwa apa yang ia pikirkan, lakukan, dan rancang mengambarkan siapa dirinya yang sebenarnya. Artinya, pengetahuan dan keterampilan menjadi landasan penting untuk menjadi manusia model apa kita saat ini dan ke depannya.

Dalam konteks pendidikan, belajar untuk menjadi menekankan pada pentingnya mengembangkan diri secara holistik, tidak hanya dalam hal pengetahuan tetapi juga keterampilan dan sikap. Hal ini penting karena manusia harus mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Konsep belajar untuk menjadi cerdas dan futuristik. menekankan pentingnya pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan zaman. Hal ini mencakup kemampuan untuk berpikir kritis, kreatif, dan futuristik, serta mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Sejalan dengan Richard Rorty terkait manusia adalah kosa kata akhir, Rene Descartes menjelaskan tentang cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Ini menunjukkan bahwa kualitas keberadaan manusia sangat ditentukan oleh apa yang dipikirkannya. Apa yang dipikirkan itu, nyata dalam tindakan-tindakan produktif. Di era teknologi digital ini, tindakan memposting menjadi tren tersendiri, sebagai sarana penting dalam menyalurkan pikiran kreatif dan kritis. Pemikiran yang sifatnya kontributif harusnya menjadi konsumsi banyak orang untuk membangun kebersamaan sosial yang saling mendukung dan menguntungkan. Saluran difusi inovasi misalnya, tidak hanya menggunakan komunikasi antar personal tetapi juga komunikasi media massa dan media sosial.

Keempat, belajar untuk hidup bersama. Hal ini menjadi konsep bahwa pendidikan harus mempersiapkan individu untuk bisa hidup bersama antar sesama manusia dengan latar belakang dan keyakinan yang berbeda. Individu harus memiliki keutamaan sosial, bukan sekedar hidup bersama dengan orang lain, tetapi sepatutya memberikan kontribusi yang berguna bagi kebaikan bersama. Dalam konteks ini juga, individu dituntut untuk memiliki perilaku moderasi, yang nyata dalam sikap menerima perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai kekayaan yang dapat dipakai untuk kepentingan kebaikan bersama. Hal ini penting karena manusia hidup dalam masyarakat yang heterogen dan perbedaan adalah hal yang wajar. Oleh karena itu, setiap orang harus belajar untuk hidup bersama dengan orang lain dan menerima perbedaan sebagai bagian dari kehidupan. Martin Buber mengatakan bahwa seorang manusia menjadi utuh bukan karena hubungannya dengan diri sendiri, tetapi karena hubungannya yang otentik dengan orang lain.

Pandangan ini dalam gagasan Richard Rorty dimengerti sebagai manusia ironis-liberal. Manusia ironis-liberal menekankan pentingnya menghargai perbedaan dan membangun solidaritas sosial. Manusia seharusnya berakar dalam keyakinan sendiri, namun dalam konteks keutamaan kebersamaan, mereka diharapkan untuk menghargai keyakinan orang lain. Hal ini menjadi mungkin karena, pada akhirnya, manusia bukan lagi menjadi warga negara tunggal, tetapi menjadi warga negara internasional. Manusia era ini dihadapkan pada tantangan menjadi warga negara dunia, yang akan hidup bersama dengan orang dari berbagai negara dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Pandangan manusia ironis liberal ini menjadi kecerdasan yang harus dimiliki setiap individu saat ini. Dalam konteks Indonesia, hal ini mencerminkan konsep menjadi manusia moderat, yaitu manusia dengan kualitas jalan tengah, yang menghargai perbedaan dan berkontribusi dalam membangun solidaritas sosial. Gagasan moderasi karena itu sangat penting dalam proses pembangunan manusia yang futuristik.

Penutup

Pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk mendorong lebih banyak perhatian dari banyak pihak untuk berkontribusi dalam usaha peningkatan kualitas. Sadar bahwa situasi pendidikan Indonesia sedang darurat menjadi sebuah keutamaan ontologis untuk berpikir dan bertindak lebih cerdas lagi. Sebab persoalan pendidikan sungguh-sungguh realistis dan menuntut respon balik yang cerdas. Dan kesadaran ini harus didorong oleh sebuah proses epistemologis bahwa pada akhirnya solusi-solusi yang akan dirumuskan harus mempertimbangkan masa depan Indonesia. Yang harus dikejar bukan hanya sebuah prestasi akademis tetapi sebuah pencapaian substantif, yang nyata dalam kualitas manusia Indonesia. Pada akhirnya, solusi-solusi epistemologis melahirkan sebuah komitmen aksiologis, bahwa dunia ini hanya menjadi berharga jika mampu menyajikan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan manusia dan segenap alam ciptaan. Pendidikan harunsya bukan tentang mengejar pengetahuan dan keterampilan belaka, tetapi harus sampai pada jati diri profetis, yaitu pewartaan terhadap nilai-nilai kebaikan yang nyata dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan itu bukan hanya tentang raihan ijazah tetapi terkait menjadikan dunia ini menjadi rumah yang nyaman bagi semua.

Oleh karena itu, ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara harus menjadi sebuah cara kita kembali kepada jati diri. Untuk menunjukkan teladan dalam sikap, selalu terpanggil untuk memberikan bimbingan dan memiliki tanggung jawab untuk mendorong kemajuan dan kemandirian dalam hidup bersama. Selain itu, sangat penting, secara aksiologis, kita menempatkan pendidikan nilai sebagai cara kita memandang dunia ini. Pendidikan nilai harus menjadi alasan mengapa pendidikan Indonesia menjadi sungguh-sungguh eksistensial. Pendidikan Indonesia harus mendorong seseorang untuk mencapai komtemplasi penemuan tentang jati dirinya di tengah dunia, yaitu untuk memberikan nilai pada dunia. Dan selanjutnya, di tengah era ini dan masa depan, panggilan untuk menjadi manusia futuristik adalah sebuah dorongan luhur. Mau tidak mau, suka tidak suka, era ini menuntut kecerdasan futuristik. Pendidikan Indonesia sudah saatnya untuk menjadi futuristik.

Daftar Pustaka

Agustang, A. (2021). Makalah "Masalah Pendidikan Di Indonesia." Www.Melianikasim.Wordpress.Com, 0--19. https://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/

Amelia, C. (2019). Problematika Pendidikan Di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, 3, 775--779.

Dodi, I. (2019). Menggagas Pendidikan Nilai dalam Sistem Pendidikan Nasional. Didaktika: Jurnal Kependidikan, 8(3), 109--122. https://jurnaldidaktika.org/contents/article/view/73

Kadi, T., & Awwaliyah, R. (2017). Inovasi Pendidikan: Upaya Penyelesaian Problematika Pendidikan Di Indonesia. Jurnal Islam Nusantara, 1(2), 144--155. https://doi.org/10.33852/jurnalin.v1i2.32

Magnis Suseno (2006), Franz. Etika Abad 20. 12 Teks Kunci. Yogyakarta: Kanisius.

UNESCO. (2011). Berinvestasi dalam Keanekaragaman Budaya dan Dialog Antarbudaya. Http://Www.Unesco.Org/Fileadmin/MultimediaHQ/CLT/Pdf/Indonesie.Pdf Sitasi 28 April 2017, 1--35. http://www.unesco.org/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/indonesie.pdf

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun