Pertama, belajar untuk mengetahui. Di era ini, setiap orang harus belajar untuk mengetahui. Bukan hanya belajar tentang pelajaran tertentu, tetapi belajar untuk memahami realitas dunia. Memahami realitas dunia sangat penting karena membantu manusia untuk memahami dan menghadapi tantangan serta perubahan yang terjadi di dunia. Memahami realitas dunia membantu manusia untuk memahami dunia sekitarnya, meningkatkan kemampuan mereka, dan bekerja sama dengan orang lain. Selain itu, membantu manusia untuk memahami diri mereka sendiri, motivasi, tujuan hidup, dan bagaimana mereka berhubungan dengan lingkungan di sekitar mereka. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas dunia, manusia dapat memperoleh wawasan yang lebih baik tentang apa yang dibuthkan ke depan, sehingga dunia ini menjadi rumah yang nyaman bagi manusia.
Kedua, Belajar untuk melakukan. Belajar untuk melakukan merupakan aspek penting dalam pendidikan. Pendidikan harus meninggalkan pendekatan yang terlalu fokus pada pengetahuan dan jauh dari aspek pelaksanaan. Manusia era ini harus membekali dirinya bukan hanya dengan pengetahuan tetapi dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu, mewujudkan pengetahuan tersebut. Manusia harus memiliki segudang kemampuan atau keterampilan yang dapat menciptakan masa depan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan konsep merdeka belajar menurut Ki Hajar Dewantara, yang menekankan bahwa belajar merdeka berarti merdeka atas diri sendiri, di mana minat dan bakat siswa harus merdeka untuk berkembang seluas mungkin. Dengan demikian, pendidikan harus diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, yang mampu mewujudkan pengetahuan dalam tindakan nyata, serta memiliki keterampilan dan kemampuan yang dapat menciptakan masa depan yang lebih baik.
Ketiga, belajar untuk menjadi. Belajar untuk menjadi adalah konsep bahwa manusia era ini harus terus belajar mengetahui dan melakukan banyak hal produktif, sehingga mereka berada pada satu titik terpenting yaitu belajar menjadi cerdas dan futuristik. Richard Rorty menegaskan bahwa manusia adalah kosa kata akhir, bahwa apa yang ia pikirkan, lakukan, dan rancang mengambarkan siapa dirinya yang sebenarnya. Artinya, pengetahuan dan keterampilan menjadi landasan penting untuk menjadi manusia model apa kita saat ini dan ke depannya.
Dalam konteks pendidikan, belajar untuk menjadi menekankan pada pentingnya mengembangkan diri secara holistik, tidak hanya dalam hal pengetahuan tetapi juga keterampilan dan sikap. Hal ini penting karena manusia harus mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Konsep belajar untuk menjadi cerdas dan futuristik. menekankan pentingnya pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan zaman. Hal ini mencakup kemampuan untuk berpikir kritis, kreatif, dan futuristik, serta mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Sejalan dengan Richard Rorty terkait manusia adalah kosa kata akhir, Rene Descartes menjelaskan tentang cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Ini menunjukkan bahwa kualitas keberadaan manusia sangat ditentukan oleh apa yang dipikirkannya. Apa yang dipikirkan itu, nyata dalam tindakan-tindakan produktif. Di era teknologi digital ini, tindakan memposting menjadi tren tersendiri, sebagai sarana penting dalam menyalurkan pikiran kreatif dan kritis. Pemikiran yang sifatnya kontributif harusnya menjadi konsumsi banyak orang untuk membangun kebersamaan sosial yang saling mendukung dan menguntungkan. Saluran difusi inovasi misalnya, tidak hanya menggunakan komunikasi antar personal tetapi juga komunikasi media massa dan media sosial.
Keempat, belajar untuk hidup bersama. Hal ini menjadi konsep bahwa pendidikan harus mempersiapkan individu untuk bisa hidup bersama antar sesama manusia dengan latar belakang dan keyakinan yang berbeda. Individu harus memiliki keutamaan sosial, bukan sekedar hidup bersama dengan orang lain, tetapi sepatutya memberikan kontribusi yang berguna bagi kebaikan bersama. Dalam konteks ini juga, individu dituntut untuk memiliki perilaku moderasi, yang nyata dalam sikap menerima perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai kekayaan yang dapat dipakai untuk kepentingan kebaikan bersama. Hal ini penting karena manusia hidup dalam masyarakat yang heterogen dan perbedaan adalah hal yang wajar. Oleh karena itu, setiap orang harus belajar untuk hidup bersama dengan orang lain dan menerima perbedaan sebagai bagian dari kehidupan. Martin Buber mengatakan bahwa seorang manusia menjadi utuh bukan karena hubungannya dengan diri sendiri, tetapi karena hubungannya yang otentik dengan orang lain.
Pandangan ini dalam gagasan Richard Rorty dimengerti sebagai manusia ironis-liberal. Manusia ironis-liberal menekankan pentingnya menghargai perbedaan dan membangun solidaritas sosial. Manusia seharusnya berakar dalam keyakinan sendiri, namun dalam konteks keutamaan kebersamaan, mereka diharapkan untuk menghargai keyakinan orang lain. Hal ini menjadi mungkin karena, pada akhirnya, manusia bukan lagi menjadi warga negara tunggal, tetapi menjadi warga negara internasional. Manusia era ini dihadapkan pada tantangan menjadi warga negara dunia, yang akan hidup bersama dengan orang dari berbagai negara dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Pandangan manusia ironis liberal ini menjadi kecerdasan yang harus dimiliki setiap individu saat ini. Dalam konteks Indonesia, hal ini mencerminkan konsep menjadi manusia moderat, yaitu manusia dengan kualitas jalan tengah, yang menghargai perbedaan dan berkontribusi dalam membangun solidaritas sosial. Gagasan moderasi karena itu sangat penting dalam proses pembangunan manusia yang futuristik.
Penutup
Pendidikan Indonesia yang sedang terpuruk mendorong lebih banyak perhatian dari banyak pihak untuk berkontribusi dalam usaha peningkatan kualitas. Sadar bahwa situasi pendidikan Indonesia sedang darurat menjadi sebuah keutamaan ontologis untuk berpikir dan bertindak lebih cerdas lagi. Sebab persoalan pendidikan sungguh-sungguh realistis dan menuntut respon balik yang cerdas. Dan kesadaran ini harus didorong oleh sebuah proses epistemologis bahwa pada akhirnya solusi-solusi yang akan dirumuskan harus mempertimbangkan masa depan Indonesia. Yang harus dikejar bukan hanya sebuah prestasi akademis tetapi sebuah pencapaian substantif, yang nyata dalam kualitas manusia Indonesia. Pada akhirnya, solusi-solusi epistemologis melahirkan sebuah komitmen aksiologis, bahwa dunia ini hanya menjadi berharga jika mampu menyajikan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan manusia dan segenap alam ciptaan. Pendidikan harunsya bukan tentang mengejar pengetahuan dan keterampilan belaka, tetapi harus sampai pada jati diri profetis, yaitu pewartaan terhadap nilai-nilai kebaikan yang nyata dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan itu bukan hanya tentang raihan ijazah tetapi terkait menjadikan dunia ini menjadi rumah yang nyaman bagi semua.
Oleh karena itu, ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara harus menjadi sebuah cara kita kembali kepada jati diri. Untuk menunjukkan teladan dalam sikap, selalu terpanggil untuk memberikan bimbingan dan memiliki tanggung jawab untuk mendorong kemajuan dan kemandirian dalam hidup bersama. Selain itu, sangat penting, secara aksiologis, kita menempatkan pendidikan nilai sebagai cara kita memandang dunia ini. Pendidikan nilai harus menjadi alasan mengapa pendidikan Indonesia menjadi sungguh-sungguh eksistensial. Pendidikan Indonesia harus mendorong seseorang untuk mencapai komtemplasi penemuan tentang jati dirinya di tengah dunia, yaitu untuk memberikan nilai pada dunia. Dan selanjutnya, di tengah era ini dan masa depan, panggilan untuk menjadi manusia futuristik adalah sebuah dorongan luhur. Mau tidak mau, suka tidak suka, era ini menuntut kecerdasan futuristik. Pendidikan Indonesia sudah saatnya untuk menjadi futuristik.
Daftar Pustaka