Mohon tunggu...
Y. B. Inocenty Loe
Y. B. Inocenty Loe Mohon Tunggu... Guru - Instruktur Pembelajaran Kreatif, Penulis, Kandidat Magister Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Yohanes Baptista Inocenty Loe, Saat ini menjadi kandidat Magister Teknologi Pendidikan di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Ia bekerja sebagai pendidik di salah satu sekolah swasta di kota Kupang, sekaligus menjadi instruktur pelatihan menulis dan pembelajaran kreatif berbasis digital di NTT. Sebagai seorang instruktur menulis, karya-karyanya telah diterbitkan di media massa cetak maupun online. Ia telah menerbitkan tiga buku yaitu Kisah Para Pelukis Wajah Bangsa, Literasi di Atas Awan dan buku terbarunya berjudul Prinsip-Prinsip Demokrasi John Rawls (Menguak Kebebasan dan Kesetaraan). Selain itu, ia juga adalah editor yang telah mengedit puluhan buku dan membantu banyak pihak untuk menerbitkan bukunya. Sebagai pelatih pembelajaran kreatif berbasis digital, ia banyak kali diundang ke berbagai kesempatan di wilayah NTT untuk berbagi inspirasi dan motivasi. Kemampuannya ini telah dibuktikan dengan berbagai pencapaian dan penghargaan yang diraihnya. Pada 2021, dinobatkan sebagai penulis aktif tingkat Nasional dan guru aktif literasi tingkat nasional. Di bidang pembelajran kreatif berbasis digital, seluruh karya dan inovasinya pernah ditanyakan di TVRI Nasional pada program Inspirasi Indonesia, akhir 2022 lalu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masa Depan Pendidikan Indonesia (Setelah 25 Tahun Tertinggal)

23 Februari 2024   10:19 Diperbarui: 23 Februari 2024   10:50 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuan pendidikan nasional di Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia. Pendidikan memiliki pengertian sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian.

Pendidikan sebagai Refleksi atas Nilai

Pembicaraan tentang pendidikan sebagai refleksi atas nilai merupakan topik yang cukup menarik. Pasalnya, kebayakan orang memahami nilai sebagai yang baik. Sesuatu yang bernilai adalah sesuatu yang baik. Namun, di balik gagasan ini, baik tidak dapat didefinisikan. Tidak dapat didefinisikan bukan berarti tidak dapat dijelaskan. Yang baik sesungguhnya adalah pengetahuan prareflektif yang tidak bisa didefinisikan. Di dalam dirinya, yang baik sulit untuk diberikan batasan pemahaman. Oleh karena itu, menurut George Edward Moore, yang baik itu seperti kuning. Kuning tidak dapat didefinisikan, ia hanya berarti jika dilekatkan dengan sesuatu yang lain, misalnya tas berwarna kuning. Demikian pun, yang baik hanya memiliki arti jika dilekatkan dengan sesuatu yang lain, misalnya perilaku yang baik. Berdasarkan gagasan ini, pendidikan sebagai refleksi atas nilai sebenarnya merujuk kepada perilaku sebagai manusia yang baik. Perilaku sebagai manusui yang baik, memiliki arti yang sungguh-sungguh luas. Manusia yang memiliki perilaku yang baik nyata dalam pengetahuan, tindakan, cara berada dan cara hidup bersama yang dapat diterima secara moral dan etika.

Dari pendasaran ini, pendidikan Indonesia oleh Soedijarto, seorang praktisi pendidikan Indoensia,  harus dilihat sebagai pendidikan moral dan menurut Martin Buber, seorang filsuf eksistensialis, hal ini dianggap sebagai pendidikan karakter. Pendidikan moral dan pendidikan karakter pada dasarnya merupakan pendidikan nilai. Keduanya menekankan pentingnya membangun sesuatu yang bernilai, berguna, atau memiliki kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Oleh karenanya pendidikan harusnya dipahami dalam konteks aksiologis, memperlebar praktik kebaikan di tengah dunia. Pendidikan nilai yang membentuk karakter, pada akhirnya harus nyata dalam gagasan Immanuel Kant untuk selalu berntindak dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusia, yang nyata dalam penghargaan terhadap kemanusiaan diri sendiri dan juga kemanusia pada orang lain. Penghargaan itu harus dimaknai bukan sebagai sarana untuk kepentingan priadi atau kelompok tetapi untuk mencapai tujuan bersama.

Pandangan Soedijarto yang menempatkan pendidikan moral sebagai misi utama pendidikan nasional mencerminkan kesadaran akan pentingnya pembentukan karakter yang baik dalam masyarakat, sebagaimana klaim Martin Buber. Namun, dalam praktiknya, implementasi pendidikan moral di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Meskipun pendidikan moral dianggap penting, kurangnya perhatian yang serius terhadap nilai-nilai moral dalam lingkungan sekolah dan masyarakat telah menyebabkan degradasi moral di kalangan pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan moral tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga memerlukan dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan masyarakat secara luas. Gap yang jauh antara sekolah dan kehidupan masyarakat bisa mengaburkan dukungan terhadap pendidikan nilai.

Pendidikan yang bernilai, secara aksiologis menekankan pentingnya peran pendidikan untuk membangun sesuatu yang bernilai, berguna, atau memiliki kebaikan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Sekali lagi sebagai penegasan bahwa pendidikan nilai harus mengedepankan gagasan Immanuel Kant tentang imperatif kategoris. Sebuah tindakan haruslah menghargai martabat kemanusiaan, baik dalam diri sendiri maupun dalam diri orang lain, dan tindakan tersebut harus dianggap sebagai tujuan, bukan sekadar sarana. Dengan demikian, pendidikan harus mampu menghadirkan sesuatu yang bernilai dalam kehidupan ini, dan nilai-nilai tersebut harus tercermin dalam tindakan yang bermakna bagi diri sendiri dan orang lain. Di era super cerdas ini, manusia harus terpanggil untuk menghargai kemanusiaan, bukan sebagai sarana untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi sebagai tujuan untuk menciptakan kebaikan bersama.

Gagasan ini memiliki implikasi yang sangat penting. Pendidikan yang bernilai harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan dan bagaimana nilai-nilai tersebut tercermin dalam tindakan mereka sehari-hari. Hal ini memerlukan pendekatan pendidikan yang holistik, yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pengembangan karakter dan etika manusia. Selain itu, pendidikan juga harus mendorong manusia untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, implementasi pendidikan yang bernilai mungkin menghadapi tantangan. Misalnya, dalam lingkungan pendidikan yang terfokus pada pencapaian akademis, seringkali nilai-nilai kemanusiaan dan etika tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Selain itu, penilaian terhadap keberhasilan pendidikan seringkali hanya berfokus pada pencapaian akademis, tanpa memperhatikan perkembangan karakter dan etika. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pendidikan yang bernilai, diperlukan perubahan dalam pendekatan pendidikan dan penilaian yang lebih holistik.

Selain itu, pendidikan yang bernilai juga harus mampu mengatasi tantangan-tantangan kontemporer. Di era super cerdas ini, di mana teknologi dan informasi semakin mendominasi kehidupan manusia, pendidikan harus mampu mengajarkan manusia bagaimana menggunakan teknologi secara etis dan bertanggung jawab. Selain itu, pendidikan juga harus mendorong manusia untuk mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat yang semakin terhubung dan kompleks.

Pembangunan Manusia Era ini: Manusia Futuristik

Pembangunan manusia pada era ini harus mendorong lahirnya manusia futuristik, yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman. Gagasan ini tercermin dalam konsep pendidikan abad ke-21 menurut UNESCO, yang terdiri dari empat pilar, yaitu belajar untuk mengetahui, belajar untuk melakukan, belajar untuk menjadi, dan belajar untuk hidup bersama. Pendidikan harus mempersiapkan individu untuk memahami dunia sekitarnya, mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, terus berkembang, dan mampu berinteraksi secara positif dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan harus menghasilkan individu yang adaptif, inovatif, dan mampu berkontribusi secara positif dalam dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun