Oleh: Y. B. Inocenty Loe
"Tugas utama guru bukan membuat siswa mencapai nilai sempurna tetapi memastikan bahwa ia harus belajar terus-menerus," demikian penegasan Dr. Sri Yamtinah, dosen Universitas Sebelas Maret dalam sebuah perkuliahan.Â
Gagasan ini cenderung bertolak belakang dengan praktik kebanyakan lembaga pendidikan formal di Indonesia yang berfokus pada pencapaian nilai.Â
Siswa yang berhasil adalah siswa yang mampu mendapatkan nilai sempurna. Sebaliknya, siswa yang mendapat nilai rendah dianggap belum mampu atau bahkan bermasalah. Gagasan yang terlalu fokus pada pencapaian nilai bisa saja terjerumus pada pendekatan Teacher Centered Learning.
TCL menunjukkan peran guru sebagai segala-galanya dalam proses pencapaian siswa. Boleh dikatakan, guru akan semakin dominan memberikan materi dan sedapat mungkin membuat pengulangan agar siswa memperoleh nilai sempurna.Â
Tugas siswa adalah mendengarkan, mencatat, berusaha memahami dan sedapat mungkin menghafal materi, sehingga bisa menjawab soal dan mendapatkan nilai sempurna.Â
Bukan tidak penting tetapi, model ini mendepak kemampuan eksplorasi, menganalisis, praktik, menciptakan dan menemukan sesuatu. Nilai harusnya menggambarkan proses siswa bukan proses guru.
Melampaui pencapaian nilai, ketika muncul keprihatinan bahwa apa yang diajarkan di sekolah sering kali tidak relevan dengan dunia kerja. Di tambah lagi, banyak lulusan bekerja tidak sesuai bidangnya.Â
Sebut saja, Sarjana Kimia murni bekerja di lembaga koperasi kredit, yang mana debt collectornya berasal dari lulusan keguruan. Dalam situasi seperti ini, pencapaian nilai sempurna saat sekolah menjadi hampa.
Fakta ini membuktikan bahwa belajar menjadi prioritas dalam dunia pendidikan. Nilai memang penting tetapi melampaui nilai, harus ada kesadaaran dan kebiasaan siswa untuk terus belajar. Bukan hanya mempelajari materi yang diajarkan guru tetapi apa yang yang penting bagi kehidupan.Â
Mempertegas  maksud  kalimat pembuka tulisan ini bahwa tugas guru tidak boleh jatuh pada pilihan agar siswa mendapatkan nilai sempurna tetapi memastikan bahwa ia memiliki kesadaraan dan kebiasaan untuk belajar. Bukan belajar untuk mengikuti tes semata tetapi belajar untuk memperoleh sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.Â
Jika gagasan ini mendapat kepercayaan, maka dapat dipastikan bahwa belajar mendiri ataupun belajar di sekolah akan menjadi habitus dan jati diri seorang siswa. Nilai yang sempurna hanyalah satu bagian dari berbagai hal yang akan dicapai oleh siswa karena proses belajar. Â
Bukan nilai untuk segala-galanya tetapi belajar untuk sesuatu apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H