Pekan lalu di republik urban rakyatnya dikejutkan lagi dengan perbincangan kisruh politik. Mulai dari undang-undang yang dikeluarkan tanpa persetujuan rakyat, kasus memonopoli hak keadilan pidana di dalam legitimasi, sampai pengesahan RUU yang tentu saja itu hanya bagian kecil dari beberapa masalah-masalah besar di negara itu.Â
Sebenarnya masih berceceran di luar sana kegelitikan politik negeri itu yang banyak mengungkung sifat kerakyatan. Sebab kebiasaan pejabatnya adalah melaksanaan rancangan program kerja yang dibuat namun masyarakatnya selalu saja tidak sepakat. Bahkan sampai-sampai krisis yang tersulutkan setiap waktunya bisa terbaca dengan cepat, seperti saja saat ini di senin siang bolong, dalam sekejab apapun itu beritanya bisa dengan mudah viral, ya---kita tahu itu adalah eksploitasi yang menggembor habis media.
Malam ini di pos ronda kampung sebelah, katanya suara bapak-bapaknya terdengar ramai mengomentari habis abad 21 yang katanya mereka bak menerima wahyu diturunkan sebagai humor untuk distriknya.Â
Peristiwa-peristiwa kerap kali menjadi gelagak canda tentu saja bukan adanya opera ataupun stand up komedi dari para komika, tetapi para elit politik yang notabenenya adalah penguasa malah berbalik miring sebagai pelawak handal. Tentu saja tak perlu membeli tiket untuk menonton panggung hiburan tersebut, toh rakyat kecil dan pengangguran juga mengerti sampai terbahak-bahak melihat kelakuan politisi negara itu. Walaupun suaranya memang tidak sekeras politikus yang memiliki status mentri di kantor wakil rakyat.
"Suasana hukum di republik ini setiap harinya terlihat semakin mengeruh, bukan mengeruh karena banyak nya polusi seperti udara Jakarta ataupun tumpukan limbah sampah seperti sungai-sungai di kota." Ujar pak Hada kepada para kepala rumah tangga yang asik menyeruput kopi waktu itu. Sembari diangguki oleh pendengar setianya ia melanjutkan "kalian tahu kenapa disebut keruh? Ya itulah, mengeruh karena sudah terlalu banyak ceceran pertanyaan-pertanyaan masyarakat akan keadilan dan hukum yang tidak sesuai dengan aturan di dalam legitimasinya. Seharus nya kita mengerti, jika halaman rumah berserakan sampah dedauanan atau sampah plastik maka siapa lagi yang akan membersihkan kalau bukan tangan kita sendiri yang membuat nyaman kembali." Tuturnya.
Beberapa pekan silam sempat ramai sekali rumor dari beberapa pasal kenegaraan yang sangat berjenaka bagi rakyatnya. Bak negara komika, Usut punya usut julukan tersebut nampaknya seperti tepat untuk negara yang memiliki hukum dengan komedinya yang lucu, penuh canda, penuh gurauan, penuh kontroversi, namun sayang tetap masih membawa karakter khasnya yang selalu baperan seperti ABG jaman sekarang. Kenapa kok bisa baperan? Tentu saja, hukumnya melucu tapi tidak senang dengan suara bisa jadi terdakwa, mengkritik kebenaran dijebloskan penjara, melucu dengan menyinggung hukum sesuai fakta pun ikut dipidana.
Begitu menghibur gelagat negri itu tentunya, beberapa kali pak Hada dan kawan-kawan rondanya itu melontarkan pertanyaan mengenai cita-cita negeri yang seakan telah gagal melahirkan bangsa yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi. "Negri ini lebih senang dengan candaannya, komedinya, humornya, dan apalah itu yang membuat mata dunia terkekeh menertawainya." Tukas pak Lukman saat itu. Disambut lagi dengan ucapan pak Anwar "begitu malang sekali (sambal menggeleng) perjuangan negri ini seakan sia-sia. Perjuangan bangsa yang mampu mengusir keganasan londo Eropa dulu akhirnya jatuh dan tersudutkan kembali di tangan sendiri".
Bak komedian yang asik berlagak di atas panggung politik, rasanya seperti sebuah kebingungan sebab kesalahan tempat. Bayangkan saja, di tempat wakil rakyat bisa-bisa nya mereka asik tertawa dengan permainan bocah; ya tentu saja tidak jauh dari monopoli. Desain monopoli ternyata cepat sekali diamalkan oleh para pemainnya, sampai-sampai tidak sadar rakyatnya habis nelangsa dan bersimpah air mata.
Bukan perkara tidak boleh tertawa lepas, menikmati jabatan, atau merasakan surga dunia, pekerjaan pun wajib tertuntaskan. Seperti  Kasus HAM di suatu negeri nan jauh, sungguh tak kunjung usai dari tahun 1998 hingga sekarang, dan hasilnya tidak terhitung berapa banyak aktivis yang hilang dan pembungkaman kebenarannya. Mereka hilang ditelan masa dan konon katanya itu pun karena oligarki elit penguasanya. Benarkah? Ah tak tahu menahu, itu bukan urusan saya sebagai penulis cerita pak Hada dan rekan-rekan rondanya.
Polemik negeri yang tak henti-henti mungkin saja menekan rakyat supaya berimajiner tertawa---padahal sudah pasti itu semua tidak lucu. Kedudukan jabatan yang diberi fasilitas atau tunjangan seumur hidup misalnya, tentu saja bukan suatu hal yang aneh, karena itu siapa sih yang gak mau jadi pejabat hehe, mereka senang menggembor-gembor membawa nama negara tapi tidak tahu harus kepada jalan mana---arah kiri kah atau kanan kah atau lurus atau mungkin diam saja. entahlah. Sadar atau tidak, sebagai rakyat yang kita tahu hanya memikirkan " bukan semestinya".
Kita tahu bahwa manusia lahir diatas kebebasan yang Tuhan berikan. Tentu siapa pun bebas melakukan apapun tanpa adanya penekanan dari pihak tertentu juga tak pantas disetir oleh subjektif lainnya. Tapi, sudah sepatutnya pula dalam taktak-tektek kenegaraan ya harus memberikan hak sesuai untuk masing-masing rakyatnya dalam sisi keadilan beserta kemakmurannya.
"Sudah semestinya kita menjaga martabat bangsa, sudah semestinya pula kita mendapatkan hak selayaknya tentang umat manusia dalam manusia. Jika terus begini, hukum akan terus sakit. Dan kebohongan besar bagi mereka yang berkoar-koar mengatakan "negeri Sejahtera". Jika krisis kehidupan sangat lekat dirasakan tentunya kita akan terus mempertanyakan benarkan kita telah berada pada situasi merdeka? Begitupun berikutnya seperti krisis hati nurani, kemanusiaan dan keadilan sebagai warga negara. Apakah negeri kita benar mengamalkan ideologi bangsanya atau memang berniat melunturkan cita-cita... ahh, sudahlah. Kalau terus seperti ini lalu kata "negara sejahtera" sebenarnya untuk apa?" ucap pak Hada sebagai penutup dari seruputan kopi terakhirnya itu. Tibalah ayam berkokok yang menunjukan pukul 03:00 pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H