Mohon tunggu...
Ingrid Jiu
Ingrid Jiu Mohon Tunggu... -

I want to be a Great Writer.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pulau Lemukutan, Pulaunya Lay Muk Tan, Benarkah?

8 Agustus 2016   12:04 Diperbarui: 8 Agustus 2016   23:53 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pulau Lemukutan, Kab. Bengkayang, Kalbar, Indonesia."][/caption]Ini adalah kali kedua aku menginjakkan kaki di pulau Lemukutan, Kec. Sungai Raya Kepulauan, Kab. Bengkayang, Kalimantan barat. Berhubung hubbyku membawa trip, jadi aku diminta untuk ikut. Mula nya aku agak keberatan. Sebab, aku baru saja pulang dari trip mengelilingi pulau Jawa dan Bali dengan sepeda motor, yang menjadikan kulitku sudah lebih dari sekedar eksotis. Jadi, kupikir jikalau aku ikut ke pulau lagi. Wah, kulitku yang sudah lebih dari sekedar eksotis akan semakin bertambah eksotis, dan akan sulit dan butuh waktu yang lama untuk memutihkan nya.

Namun, akhirnya kuputuskan juga untuk ikut. Tak lupa berbekal dua buku kumpulan cerpen, karya Ahmad Tohari dan Puthut EA. Juga youtube berupa kartun Masha and The Bear dan Shaun The Sheep yang telah ku-saveoffline, untuk kujadikan sebagai bahan pengisi waktu di pulau nanti. Sambil berharap dua hal. Pertama, semoga saja aku bertemu dengan si ilham. Dan kedua, berharap si imajinasi boleh dapat bekerja dengan sebaik-baik nya.

Jumlah peserta trip ada 12 orang. Ditambah dengan kami berdua, jadi total ada 14 orang yang terbagi dalam beragam umur. Dari yang paling tua hingga ke yang paling muda dan juga remaja.

Pada kali pertama aku ke pulau Lemukutan, aku tidak berhasil menggali cerita dan sejarah dari pulau ini. Meskipun ada beberapa cerita yang pernah kubaca dari Koran Akcaya semasa dulu, dan majalah Bobo semasa kecil dulu.

Sebelum aku menceritakan akan kisah penjelajahan kami, baik nya aku menuliskan sekilas akan cerita dan sejarah mengenai pulau Lemukutan ini. Ini juga kuperoleh dari salah satu penulis blog yang bernama Armin Cobain. Dan setelah kuhubungkan alur cerita nya dengan apa yang telah kubaca semasa dulu, ternyata cerita nya cukup menyambung.

Alkisah diceritakan ada seorang raja Tiongkok yang berkuasa pada abad entah ke berapa. Raja ini dikenal agak zalim dalam pemerintahan nya. Ia memiliki seorang putri yang sakit lepra. Atau dengan kata lain sakit penyakit kusta. Lepra ataupun kusta sangat lah ditakuti oleh masyarakat Tiongkok pada masa itu. Karena malu memiliki seorang putri yang sakit lepra. Maka sang raja meminta seorang pelaut Cina yang bernama Lay Muk Tan untuk mengawal putrinya untuk dibuang di pulau kosong. Mendapatkan titah sang raja, Lay Muk Tan pun menyiapkan pasukan untuk segera berlayar. Mereka memulai perjalanan dari negeri Tiongkok dan menyusuri sepanjang laut Cina Selatan.

Tibalah mereka di sebuah pulau kosong, dan sang putri raja yang sakit lepra pun tinggal di pulau kosong tersebut. Sementara Lay Muk Tan dan pasukan nya juga ikut menetap di situ guna menjaga si putri. Mereka menetap di ujung pulau yang dikenal dengan daeran Teluk Cina. Dari situ lah cikal bakal ada nya orang Cina di pulau Lemukutan. Bahkan konon cerita nya, bahwa nama Lemukutan itu sendiri diambil dari nama si pelaut Cina, Lay Muk Tan. Jadi, pulau Lemukutan adalah pulau nya Lay Muk Tan, benarkah? Sejauh mana kebenaran nya, aku sendiri juga tidak tahu, dan kupikir tak ada seorang pun yang mengetahui nya dengan pasti.

Kebetulan, ada seorang Bapak yang sempat kami temui mengatakan bahwa masih ada secuil dua-cuil peninggalan dan sisa-sisa bangunan yang ada di Teluk Cina. Salah satu nya adalah anak-anak tangga yang dibuat dari tanah menyerupai undakan dari bawah menuju ke atas bukit. Mendengar penuturan demikian, aku pun tak sabar ingin menjelajahi nya. Bagiku, situs dan peninggalan seperti ini adalah sangat menarik untuk ditelusuri.

Yah, itu lah cerita yang beredar mengenai sejarah pulau Lemukutan. Nah, sekarang aku akan menceritakan bagaimana kisah-kisah akan penjelajahan kami di pulau ini.

Hari telah siang di kala kapal yang kami tumpangi mendarat di dermaga Dusun Tanjung Jati. Kami diberitahu bahwa makan siang telah disiapkan oleh Pak Andi, selaku pihak pemilik penginapan. Karena perut kami sudah mulai keroncongan, tanpa ba-bi-bu kami pun menyantap makanan dengan lahap. Meskipun kulihat ada beberapa remaja yang makan dengan jumlah sedikit. Yah, wajar saja, mungkin mereka kurang selera, pikirku sekilas. Berada di pulau seperti ini, bekal makanan yang tersedia pun sangat terbatas, bukan?

Usai makan siang. Kami pun beristirahat sebentar di penginapan. Mengemasi barang dan menyiapkan diri untuk acara snorkeling. Salah satu spot yang menarik di pulau Lemukutan adalah snorkeling, tidak ada yang lain.

Pelampung dipasang, tak lupa mengancingnya dengan seksama, pasang alat snorkeling yang berupa kacamata dan alat bernafas di dalam air. Oke, setelah semua nya siap. Kami akan segera terjun ke dalam air dan memulai snorkeling.

Pada kali pertama terjun ke dalam air. Kudapati banyak pemandangan lucu. Ada salah satu di antara teman kami yang berguling-guling di atas permukaan air, seperti tengah berada di ruang angkasa tanpa gravitasi. Entah kenapa bisa demikian? Aku sendiri pun keheranan. Kulihat seluruh tubuh nya melayang-layang, lalu berguling-gulingan. Membuatku diam-diam tertawa cekikikan. Ada pula yang sekali terjun tidak bisa bergerak sama sekali. Tubuh nya terlihat kaku meskipun tangan dan kaki nya sudah digerakkan dengan gaya bebas, namun tetap saja tidak bergerak sesenti meter pun. Padahal kami tidak melawan arus, malah kami yang mengikuti arus.

Salah seorang teman kami yang berbadan gemuk dan berwajah lucu. Sekali terjun ke dalam air meluncur seperti batu, dan tubuh gemuk nya tampak besar sekali seperti bayi. Aku jadi teringat dengan salah seorang keponakanku sewaktu kecil dulu. Juga berbadan gemuk dan berwajah lucu, dengan kedua tangan sering kuangkat dengan menopang kedua ketiak nya sambil bersenandung, nang ning..ning nang ning nung..nang ning..ning nang ning nung.. Sambil masih bersenandung, keponakanku itu akan cekikikan dan tertawa dengan tampang yang lucu.

Seperti nya terumbu karang di sekitar dermaga Dusun Tanjung Jati sedikit mengecewakan. Pasal nya, seingatku dua tahun yang lalu, di kala aku datang pada kali pertama, terumbu karang yang ada sangat lah indah. Banyak ikan berwarna-warni, terumbu karang pun masih asri, banyak pula binatang laut yang berukuran kecil, ada yang merayap, ada pula yang berenang. Banyak kutemui lala dengan warna yang lengkap. Ungu, hijau, coklat, orange, kuning, hitam, dan ada pula yang bermotif. Namun, sayang nya, seperti nya kini banyak yang rusak dan juga hilang. Kuperhatikan banyak karang yang patah, banyak pula sampah yang sangkut di terumbu karang, batu-batu pun terasa kurang. Ikan yang berenang pun tampak nya kesulitan, sebab airnya keruh yang menyebabkan pandangan di dalam air kabur. Oh, aku sangat kecewa. Mestinya tidak begini, bukan? Terumbu karang yang ada adalah aset untuk dijual untuk pariwisata. Dengan terumbu karang yang telah rusak dan jelek, sungguh bukan lagi suatu hal yang menarik. Atau apakah mungkin pengaruh air laut tengah pasang? Entahlah, kupikir terumbu-terumbu karang yang ada tidak mungkin akan patah jikalau tidak ada yang merusak nya. Ternyata begini caranya orang Indonesia menjaga alam nya, tak seperti negeri-negeri tetangga ataupun luar negeri lain nya.

Lebih dari tiga jam-an kami bersnorkeling. Entah berapa kilometer telah kami telusuri. Namun, seperti nya teman-teman pada senang dan juga suka, mungkin ada di antara mereka adalah kali pertama memiliki pengalaman bersnorkeling. Dan patut diacungkan jempol akan semangat mereka yang kerap menyala-nyala, tiada padam nya. Meskipun ada beberapa yang mengeluh kelelahan. Wajar, lha aku sendiri saja lelah. Yang muda saja kelelahan apalagi aku yang lebih tua dari mereka.

Ada juga beberapa teman yang menyewa pelampung, dan kondisi pelampung nya sungguh memprihatinkan. Kancing nya rusak lah, resleting nya lah, tali nya lah, ini nya lah, itu nya lah, anu nya lah. Aku yakin, bersnorkeling dengan pelampung yang terpasang tidak utuh sungguh tidak lah nyaman. Bahkan akan menyulitkan badan kita yang tidak bisa terapung dengan sempurna.

Itulah cerita kami di hari pertama. Yang jelas, semua nya senang, semua nya gembira, semua nya pun bersukacita. Aku yang melihat pun jadi bahagia. Sebab, inti dari sebuah perjalanan, adalah sukacita nya, bukan lah keluh kesah nya, terlebih lagi akan keluh kesah yang bersifat saling menyalahkan. Dengan demikian, tentu bukan lagi sukacita yang didapatkan, melainkan dukacita tentu nya.

Oke. Sebenarnya aku sudah tak sabar ingin menjelajah apa yang dikatakan oleh Bapak yang menuturkan tentang anak-anak tangga yang dibuat dari tanah yang merupakan peninggalan dari jaman Lay Muk Tan di Teluk Cina. Nah, keesokan hari nya, usai makan siang, usai perut kami kenyang diisi dengan berbagai masakan dan menu berupa ikan. Kami pun siap untuk berangkat ke Teluk Cina.

Mula-mula dari Dusun Tanjung Jati, kami mulai memasuki daerah Desa Teluk Melanoa. Di sini ada pasar kecil dan juga sebuah dermaga besar. Rumah-rumah yang ada dibangun cukup rapi. Ada pula yang tidak rapi sama sekali dan terkesan sangat berantakan. Maklum, ini adalah rumah kampung, sesuatu yang sangat wajar, bukan? Ada beberapa warung yang menjual barang-barang sembako, dan juga menjual minuman. Yang membuatku sangat terkesan adalah sampah nya. Mungkin untuk beberapa tahun mendatang, sampah-sampah ini akan menggunung di ketinggian entah berapa mdpl.

Selain warung sembako dan warung minuman. Ada juga beberapa penginapan. Sepanjang perjalanan, ada kala nya jalan menanjak menaiki perbukitan, ada pula menurun. Namun, kondisi jalanan cukup bagus, sebab sudah disemen. Hanya ada beberapa titik yang berkondisikan hancur, mungkin banyak dilintasi oleh sepeda motor yang kerap berlalu-lalang.

Selepas desa Teluk Melanoa. Kondisi jalan mulai sepi. Kiri adalah hutan di atas perbukitan, dan kanan berupa tepian pantai. Teman-teman sibuk berpose dan berselfie ria. Kami juga kerap berpose bersama-sama. Kebetulan teman kami yang berbadan gemuk dan berwajah lucu itu, adalah seorang penggemar photografi. Jadi, kami pun diminta untuk menjadi model, tanpa honor tentu nya. hehe..

Aku tiba-tiba teringat dengan apa yang dikatakan oleh Trinity dalam bukunya TNT. Bahwa ia paling pantang untuk mengajak teman seperjalanan dengan tiga profesi. Yakni photographer, penyuka make-up dan selfie, juga kutu buku. Penjelasan nya. Yang photographer, bisa berjam-jam menunggu nya untuk mengambil sebuah objek. Utak sana, utak sini, nganuin ini, nganuin itu, tripot dipasang sana, nanti di sini, dilepas, lalu dipasang lagi, dilepas lagi, dipasang lagi.

Seorang photographer yang ahli tidak akan merasa waktu nya habis hanya untuk mengambil sebuah objek yang diingininya. Terus, bagaimana dengan penyuka make-up dan selfie. Hm.. bisa berjam-jam pula menunggu nya bermake-up dan berselfie ria. Bisa-bisa kita juga yang disuruhnya untuk mengambil gambar nya melulu. Lalu, dengan kutu buku. Lebih parah lagi. Sebab yang dipelototi adalah buku, buku dan buku. Bahkan, ransel dan tas nya pun isi nya hanya buku melulu yang jikalau dibawa pun berat nya minta ampun. Mengingat akan tulisan Trinity dalam bukunya TNT ini tak lepas membuatku tertawa sendiri.

Oke. Usai berpose, perjalanan kembali kami lanjutkan. Dalam jarak yang lumayan jauh, kami mulai memasuki desa Temiang. Kami sempat bercakap-cakap sambil bertanya kepada seorang Bapak, asal Tebas yang telah lama hijrah dan menetap di pulau Lemukutan. Ketika aku menanyakan kepadanya perihal anak-anak tangga yang dibuat dari tanah yang merupakan peninggalan orang-orang Cina jaman dahulu. Beliau mengatakan bahwa itu semua sudah tidak ada lagi. Sebab, bagian itu sudah lama tidak ditinggali dan anak-anak tangga tersebut sudah lebat dikerubungi rerumputan dan juga semak belukar. Oh, aku sedikit kecewa. Karena sudah aku bayangkan bagaimana tampang akan anak-anak tangga yang dibuat dari tanah yang menyerupai akan undakan dari bawah menuju ke atas perbukitan. Yah, imajinasiku sudah mulai bekerja sejak kali pertama aku mendengar dari penuturan Bapak itu mengenai anak-anak tangga tersebut. Namun, sayang nya kini anak-anak tangga itu sudah tidak ada. Jelas, sejarah akan pulau Lemukutan juga ikut terkubur dalam lebatnya rerumputan juga penuh nya semak belukar.

Kendati demikian, ada pula misi lain yang menjadi target kami selain anak-anak tangga itu. Yakni, Villa Pasir Putih, yang konon kata nya orang-orang indah nya selangit, dan terletak di ujung daerah Teluk Cina. Oke. Setelah berpamitan dengan Bapak asal Tebas itu, kami pun kembali melanjutkan perjalanan.

Selangkah demi selangkah kami tapaki penuh riang. Sambil bercanda, tertawa, ngobrol dan bercerita, dari topik yang satu hingga ke topik apa saja. Dari meledeki teman yang baru mendapatkan pasangan, hingga meledeki teman yang sudah lama menikah. Wah, menjadikan setiap langkah yang kami tapaki serasa ringan saja. Tanpa terasa, sekujur tubuh kami bermandikan keringat, menjadikan kaos dan baju yang kami kenakan basah dan berbau menyengat. Kulihat nyamuk-nyamuk pada berkeliaran dan mengerubungi kaos ataupun baju kami, dari bagian pelipis, leher hingga ke punggung. Duh, perjalanan mulai terasakan berat. Sudah lama kami berjalan, namun kenapa pula Teluk Cina nya belum sampai juga.

Aku kelelahan. Nafasku mulai tak beraturan. Malah aku mulai melambatkan langkah. Tapi, teman-teman kelihatan tetap bersemangat untuk menyampai Villa Pasir Putih. Harus sampai! Begitu teriak mereka dengan lantang dan tegas. Aku mengagumi akan semangat mereka, menjadikan ku juga boleh dan kembali bersemangat. Meskipun kudengar ada beberapa di antara mereka yang mulai kelelahan, ada pula yang kelaparan, ada pula yang jatuh berkali-kali, namun tetap bangkit dan berjalan kembali. Sungguh, ini suatu hal yang mengagumkan. Di mana dalam kebersamaan terdapat pula kekuatan. Yang satu mulai kelelahan, yang lain boleh menyemangati, yang satu kelaparan, yang lain boleh berbagi, yang satu lemah dan terjatuh, yang lain boleh membangkitkan.

Kami kembali menelusuri jalan. Setapak demi setapak, langkah demi langkah. Akhirnya sampailah kami di Teluk Cina. Yang oleh warga setempat disebut dengan nama Karang Utara. Yah, ini adalah daerah pulau Lemukutan bagian utara. Tepatnya berada di ujung kanan pulau. Berarti kami telah berjalan dari arah selatan menuju utara yang berjarak sekitar 5km. Para warga setempat saja terheran-heran hingga menggelengkan kepala mereka ketika mengetahui bahwa kami telah berjalan dari dusun Tanjung Jati hingga menyampai Teluk Cina ini. Bahkan, ada salah satu di antara mereka yang mengatakan seumur-umur ia belum lah pernah ke sana. Alamak!

Daerah Teluk Cina tampak lebih ramai jikalau dibandingkan dengan tiga desa yang telah kami lalui tadi. Rumah-rumah dibangun cukup rapi, berada dan terkesan bagus. Seperti nya perekonomian warga di desa ini lebih baik. Banyak rumah warga yang rajin bercocok tanam, buktinya hampir si setiap rumah terdapat tanaman dan pohon di depan rumah mereka. seperti pohon mangga, cabe, bunga-bunga, sukun, pala, cengkeh dan jenis tanaman lain nya.

Teman-teman berteriak dan berjingkrak-jingkrak penuh kegirangan. Yah, adalah sebuah kebanggaan tersendiri untuk bisa menyampai hingga ke sini. Sudah berapa langkah yang telah kami tapaki, sudah berapa energy kami yang telah terkuras, sudah berapa kalori kami yang telah terbakar, dan sudah berapa liter keringat kami yang telah tercucurkan? Duh, senangnya di kala apa yang telah kita korbankan akhirnya berhasil mencapai puncak kepuasan.

Satu hal yang kucari setiba di Villa Pasir Putih adalah minuman soda. Hm.. dalam kondisi panas dan super lelah seperti ini, hal yang paling menyenangkan adalah meneguk minuman soda dingin. Benar saja, sekali meneguk minuman tersebut rasa-rasanya segenap lelah yang ada pun hilang dan lenyap seketika. Ah, nikmatnya hidup. Tidak percaya? Boleh dicoba!

Karena hari sudah sore, sebentar lagi langit akan mulai gelap. Kami memutuskan untuk pulang ke penginapan dengan kapal. Sebab, berjalan kaki sejauh 5km lagi dengan kondisi badan kelelahan seperti nya tidak memungkinkan, apalagi ditambah dengan kondisi hari gelap, sepanjang jalanan tidak ada lampu jalan. Ingat, ini adalah kampung dan bukanlah kota. Dan kami tiba kembali di penginapan sewaktu hari telah gelap.

Dengan demikian , maka berakhirlah perjalanan dan penjelajahan kami di pulau Lemukutan.

Terima kasih kepada Tuhan Yesus, telah memberkati dan melindungi kami selama perjalanan. Terima kasih kepada teman-teman yang telah bergabung dalam tim. Sungguh, telah menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan. Dan terima kasih juga kepada teman-teman yang telah memberikan jempol nya yah!

(Ingrid Jiu, 07 Juli 2016. 14.34. Pontianak)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun