Mohon tunggu...
Ingrid Jiu
Ingrid Jiu Mohon Tunggu... -

I want to be a Great Writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Agoraphobia"

11 Juli 2016   13:35 Diperbarui: 11 Juli 2016   13:44 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabatku, Ashley, yang merangkap editorku di kantor, berpesan kepadaku berulang-ulang. Ashley mengenalku dengan baik, dan ia yang selalu menyemangatiku untuk mengikuti kompetisi menulis. Dan ketika kusampaikan berita bahagia bahwa aku terpilih sebagai salah satu pemenang di antara 10 pemenang, Ashley sungguh senang dan berulang kali mengucapkan selamat. Aku menghargai nya, berkat Ashley juga aku berada dalam situasi seperti sekarang ini. Yah, Ashley sangat berjasa akan hidupku. Ia juga yang telah mengeluarkan aku dari keterpurukanku dulu.

“Marla, ada pesan dari Ibumu,” Tiba-tiba Ashley menyodorkan ponselku yang kutitipkan kepada nya.

Aku membuka dan membacanya. Ibu menuliskan bahwa ayah tiriku sedang sakit keras. Aku terdiam. Di bagian akhir, Ibu juga berpesan agar aku pulang. Aku mendesah, lelah sekali rasa nya mengingat apa yang telah pernah dilakukan oleh ayah tiriku kepadaku. Selama aku di rumah bersama Ibu dulu, aku tak cukup dimarahi dan dicaci maki olehnya setiap hari. Dan saat itu, Ashley yang bersusah payah untuk mengeluarkanku dari rumah, dan juga mencarikanku pekerjaan. Entahlah, apakah ada hubungan dan sebab-akibat antara perlakukan ayah tiriku dengan agoraphobia yang kini kualami?

Lamunan ku buyar seketika di kala terdengar pengumuman dibacakan, bagi 10 pemenang yang telah disebutkan nama nya agar segera menaiki ke atas panggung segera. Aku menyempatkan untuk memandangi wajahku sekali lagi di cermin, tampak sekilas rambut panjangku yang telah digelung persis Elsa, tokoh kartun frozen. Ashley dengan rambut gondrongnya sebahu tersenyum dan melambaikan tangan nya padaku. Dan aku hanya membalas senyuman seada nya.

Satu per satu pemenang mulai berpidato. Kebetulan aku berada di urutan nomor lima. Hatiku berdesir, adrenalinku mulai menegang. Aku berdoa dalam hati semoga aku tidak panik. Usai peserta yang satu ini, berikut nya adalah giliranku. Menjadikan hatiku semakin tak karuan dan detak jantung pun makin berdegup kencang tak tentu haluan.

“Halo, namaku Marla. Marla Kanya.” Kubuka kalimat pertama.

“Aku adalah pemenang urutan nomor lima, aku..”

Aku terdiam sesaat. Melihat segenap hadirin yang tengah duduk di deretan bangku yang telah disediakan. Semua mata tengah menatap ke arahku, menunggu akan kalimat berikut yang akan kuucapkan. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku kian membisu, sekujur tubuh terasa kaku, kerongkonganku tersumbat, dan suaraku tercekat. Hatiku kian berdesir dan menegang. Panik.

Kucari wajah Ashley yang ternyata sedang berada di belakang panggung dan tengah manis menatapku. Tanpa kusadari aku malah lebih mengingat pernyataan Albert Enstein daripada pesan Ashley. Yah, seperti yang dikatakan oleh Albert Enstein, bahwa dirinya membenci keramaian. Dan aku juga merasa demikian. Oh, aku benci keramaian. Gumamku pelan.

Tiba-tiba kurasakan tubuhku ringan, tak bertenaga lantaran jatuh terkulai. Mataku gelap seketika. Yah, hanya gelap, gelap dan gelap. Sayup-sayup kudengar suara gaduh, terdengar pula Ashley memanggil-manggil namaku. Dan selanjutnya apakah yang terjadi? Aku tidak tahu.

(Ingrid Jiu, 29 Juni 2016. 12.21, Pontianak)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun