Mohon tunggu...
Ingrid Jiu
Ingrid Jiu Mohon Tunggu... -

I want to be a Great Writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Agoraphobia"

11 Juli 2016   13:35 Diperbarui: 11 Juli 2016   13:44 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Pejamkan matanya!” Kupejamkan mata.

“Buka matanya!” Kubuka mata.

“Buka bibir nya!” Kubuka celah bibir.

“Wajahnya diangkat sedikit!” Kutengadahkan wajah.

“Sedikit lagi!” Kembali kutengadahkan lagi.

Sebenarnya berada dalam situasi seperti ini sungguh bukanlah impianku. Hm.. Dikatakan bukan impian sebenarnya impian juga. Namun, yah hasil nya seperti ini. Sewaktu aku memutuskan untuk mengikuti kompetisi menulis ini, aku sudah membayangkan apa yang akan terjadi jikalau aku terpilih sebagai pemenangnya. Namun, kupikir ini adalah sebuah resiko dari sebuah keputusan ataupun suatu pekerjaan. Jujur, aku sempat cemas, jikalau aku memenangkan kompetisi ini, pastinya serangkaian acara akan kuikuti, dan itu semua tak luput dari keramaian. Wah, mendengar kata keramaian, adrenalinku mulai meninggi, hatiku mulai berdesir, dan kepalaku langsung terasa nyut..nyut.. Sakit sekali.

“Make upnya sudah, Mbak!” Aku tercekat. Memaksakan diri untuk tersenyum aku menatap wajahku di cermin meja rias di hadapanku.

Hm.. Wajahku kini seperti boneka barbie. Alisku digambar hitam dan tebal, eye shadow warna biru muda, sepadan dengan gaun yang tengah kukenakan. Ada juga eyeliner hitam di lingkaran mata, ada juga blush on pink di kedua pipi, berikut bedak warna kulit yang terkesan tebal menumpuk di wajah, dan lipstick merah menyala, menjadikanku sungguh merasa aneh dan kaku. Bahkan untuk tersenyum pun serasa wajahku tertarik-tarik melulu.

Niscaya, bukan riasan seperti ini yang hendak aku permasalahkan. Ada sesuatu yang jauh lebih penting dan sangat aku risaukan. Yah, berhubung aku terpilih sebagai salah satu pemenang di antara 10 pemenang yang ada. Kami semua diminta untuk berpidato, atau sekedar menyampaikan sepatah-dua kata sebagai kata sambutan dan penyataan perasaan bahagia sebagai salah satu pemenang dari ratusan peserta lain nya. Yah, kami telah bertarung dalam 700-an naskah, dan kini kami patut berbangga. Sebab, dari 700-an naskah terpilih 10 pemenang, dan aku adalah salah satu di antara mereka.

Berpidato? Berdiri di depan umum, di hadapan khalayak ramai dengan ribuan mata tengah memelototi? Waduh, bagiku ini bukan hanya sekedar demam panggung dan grogi dipelototi oleh orang banyak, tetapi ada sesuatu yang lebih parah. Yah, agoraphobia. Agoraphobia, adalah gangguan kecemasan jenis phobia dengan ketakutan dasar yang berasal dari perasaan terjebak di tempat umum. Inti dari agoraphobia itu sendiri adalah takut akan keramaian. Aku menyadari terserang agoraphobia adalah 2-3 tahun terakhir. Di mana tipe manusia melankolik sepertiku ini, setiap pulang kerja dari kantor lebih suka menghabiskan waktu di apartemen seorang diri, dari membaca, menulis ataupun menonton televisi. Dan jujur, aku sangat menikmati.

“Marla, ingat, nanti kamu jangan panik!”

Sahabatku, Ashley, yang merangkap editorku di kantor, berpesan kepadaku berulang-ulang. Ashley mengenalku dengan baik, dan ia yang selalu menyemangatiku untuk mengikuti kompetisi menulis. Dan ketika kusampaikan berita bahagia bahwa aku terpilih sebagai salah satu pemenang di antara 10 pemenang, Ashley sungguh senang dan berulang kali mengucapkan selamat. Aku menghargai nya, berkat Ashley juga aku berada dalam situasi seperti sekarang ini. Yah, Ashley sangat berjasa akan hidupku. Ia juga yang telah mengeluarkan aku dari keterpurukanku dulu.

“Marla, ada pesan dari Ibumu,” Tiba-tiba Ashley menyodorkan ponselku yang kutitipkan kepada nya.

Aku membuka dan membacanya. Ibu menuliskan bahwa ayah tiriku sedang sakit keras. Aku terdiam. Di bagian akhir, Ibu juga berpesan agar aku pulang. Aku mendesah, lelah sekali rasa nya mengingat apa yang telah pernah dilakukan oleh ayah tiriku kepadaku. Selama aku di rumah bersama Ibu dulu, aku tak cukup dimarahi dan dicaci maki olehnya setiap hari. Dan saat itu, Ashley yang bersusah payah untuk mengeluarkanku dari rumah, dan juga mencarikanku pekerjaan. Entahlah, apakah ada hubungan dan sebab-akibat antara perlakukan ayah tiriku dengan agoraphobia yang kini kualami?

Lamunan ku buyar seketika di kala terdengar pengumuman dibacakan, bagi 10 pemenang yang telah disebutkan nama nya agar segera menaiki ke atas panggung segera. Aku menyempatkan untuk memandangi wajahku sekali lagi di cermin, tampak sekilas rambut panjangku yang telah digelung persis Elsa, tokoh kartun frozen. Ashley dengan rambut gondrongnya sebahu tersenyum dan melambaikan tangan nya padaku. Dan aku hanya membalas senyuman seada nya.

Satu per satu pemenang mulai berpidato. Kebetulan aku berada di urutan nomor lima. Hatiku berdesir, adrenalinku mulai menegang. Aku berdoa dalam hati semoga aku tidak panik. Usai peserta yang satu ini, berikut nya adalah giliranku. Menjadikan hatiku semakin tak karuan dan detak jantung pun makin berdegup kencang tak tentu haluan.

“Halo, namaku Marla. Marla Kanya.” Kubuka kalimat pertama.

“Aku adalah pemenang urutan nomor lima, aku..”

Aku terdiam sesaat. Melihat segenap hadirin yang tengah duduk di deretan bangku yang telah disediakan. Semua mata tengah menatap ke arahku, menunggu akan kalimat berikut yang akan kuucapkan. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku kian membisu, sekujur tubuh terasa kaku, kerongkonganku tersumbat, dan suaraku tercekat. Hatiku kian berdesir dan menegang. Panik.

Kucari wajah Ashley yang ternyata sedang berada di belakang panggung dan tengah manis menatapku. Tanpa kusadari aku malah lebih mengingat pernyataan Albert Enstein daripada pesan Ashley. Yah, seperti yang dikatakan oleh Albert Enstein, bahwa dirinya membenci keramaian. Dan aku juga merasa demikian. Oh, aku benci keramaian. Gumamku pelan.

Tiba-tiba kurasakan tubuhku ringan, tak bertenaga lantaran jatuh terkulai. Mataku gelap seketika. Yah, hanya gelap, gelap dan gelap. Sayup-sayup kudengar suara gaduh, terdengar pula Ashley memanggil-manggil namaku. Dan selanjutnya apakah yang terjadi? Aku tidak tahu.

(Ingrid Jiu, 29 Juni 2016. 12.21, Pontianak)

(Sumber, Wikipedia Indonesia)

(Catatan, Agoraphobia berasal dari kata latin agora, yang berarti pasar di luar ruang, adalah gangguan kecemasan yang berdasar kepada ketakutan akan keramaian, yang diperkirakan berkembang dari komplikasi dari serangan panik. Tidaklah jelas akan penyebabnya, diduga ada nya tekanan batin dalam diri seseorang, atau permasalahan jiwa yang mendalam, juga tak luput dari karakter seseorang dan kepribadian yang bersangkutan. Akibatnya, orang dengan agoraphobia membatasi gerak nya sebatas tempat yang dirasa aman, seperti di dalam rumah. Dikatakan lagi bahwa untuk mengatasi agoraphobia mesti melakukan terapi kognitif yang efektif.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun