Dibanding oleh Kanaya yang 2 tahun lebih muda darinya dan merupakan junior dari Anggi sendiri, ia jauh lebih tenang dalam menutupi ketegangan yang ia rasakan. Meskipun begitu, Kanaya jauh lebih membantu dengan caranya menyalakan lampu senter dari handphone-nya untuk menerangi tiap orang yang hendak bicara.
"Sabarlah, Anggi! Kita semua harus saling bisa menjaga ketenangan dan berusahalah untuk tidak terlalu panik!" gerutuku kepada Anggi. Ia terlihat ingin membalas ucapanku barusan namun tertahan oleh karena ia sama takutnya berbicara sambil memandang wajahku yang sudah terlalu penat menggubrisnya.
"Baiklah, apa idemu kalau begitu?" tanya Kanaya yang sekarang mempertanyakan hal yang aku mendengarnya terasa seakan pertanyaan itu begitu memojokkanku. Aku sendiri belum tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.
"Begini saja," kataku akhirnya menghela napas dalam dan merasakan aroma tanah dan dedaunan yang khas dari hutan konservatif ini, "aku tahu kita butuh tumpangan selain dari bus ini, tumpangan yang bisa mengantar kita keluar dari sin. Dan itu artinya---"
"Kita harus memanggil seseorang dari luar hutan agar memberikan tumpangan ke dalam sini! Tepat sekali!" ujar Lukman, memotong ucapanku dengan idenya yang kuakui brilian itu. Aku tersenyum padanya, sementara semua kepala menoleh pada Lukman yang begitu terlihat menyukai berada di tengah-tengah perhatian seluruh rombongan.
"Ide bagus, maksudku, ya, tentu bagus sekali, kecuali satu hal," ujar Fred yang sedari tadi diam menyimak kami semua berdebat. Ia tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Namun, karena sekarang seluruh perhatian rombongan sudah tertuju padaya, ia memang harus melanjutkan kalimatnya tadi. "Masalahnya adalah, aku baru saja kehilangan telponku."
"Bukan masalah besar, Fred! Kau adalah yang kami andalkan di sini berkat pengetahuanmu! Kau seorang ahli biologi, kan? Dan kau bilang kau terbiasa bekerja di hutan? Itu sesuatu yang lebih penting dari sebuah telpon genggam, Fred!" kataku menghibur Fred, dan dengan sedikit maksud untuk menyindir Anggi yang sudah menghabiskan seluruh baterai telpon genggamnya.Â
Prita kemudian memberikan ponselnya, satu-satunya ponsel dalam rombongan ini yang masih berfungsi dalam kondisi kacau seperti sekarang. Aku mulai menelpon seseorang yang kuingat nomornya, Herman, yang tinggal merupakan penjaga pintu hutan konservatif ini.Â
Herman betul-betul dapat diandalkan, ia datang setelah memahami bahwa kejadian ini benar-benar genting dan perlu tindakan secepatnya. Ia datang sekitar 15 menit kemudian dengan motornya yang hanya dapat menampung 2 orang.Â
Orang yang kami sepakat tunjuk untuk mengisi motor Herman adalah Prita dan Kevin. Setelah sebelumnya Prita izin kepada suaminya, Lukman, mereka bergegas keluar dari hutan ini. Sementara cahaya mentari sudah tidak lagi terlihat menuju celah-celah batang pohon yang besar, dua perempuan yang tersisa dalam rombongan ini semakin terguncang dan panik.
"Aku menyarankan untuk tetap berjalan sembari mencari bantuan lainnya dari luar hutan ini. Maksudku, lebih baik seperti itu, karena semakin malam, hutan akan semakin tidak mendukung rombongan manusia seperti kita," ucap Fred, terdengar lebih percaya diri dari sebelumnya. Ketika aku memujinya beberapa menit yang lalu mengenai keberaniannya, aku tidak akan menyesali hal itu karena memang faktanya Fred begitu mudah memberi masukan hebat dan rasional untuk menolong rombongan ini.