Â
"Bersediakah Adik menemaniku berkelana di Bumi Nusantara?"
adakah yang lebih pahit dari jawaban atas tawaran Rama
dengan tanpa anggukan pun iya singkat untuk menentramkan
dan demi Tuhan, Rama, aku tidak bermaksud melengos.
Aku, Rama, selalu ingin meminta lebih banyak waktu
kecuali jika suatu masa kau sendiri yang memintaku
untuk segera menjauh
berpisah seperti tidak akan ada senandung-senandung itu
yang kerap kau kirim untukku,
dulu.
Perempuan-perempuan yang kau pernah kabarkan padaku
adakah mereka memahamimu tanpa gagal
tanpa peluh yang mereka keluhkan?
Adakah, Rama, mereka yang engkau beri tahu
semua cerita yang engkau kisahkan saat dulu kita duduk bersama
malam pukul 12 saat semua orang berbaring kita duduk
membicarakan hal seolah malam akan berumur panjang
ya, Rama?
Oh, aku ingat, Rama
saat samar hitam berbayang dalam naunganku seorang
siapa yang aku lari kepadanya kecuali engkau
karena sudah saatnya aku merasa cukup
dengan dirimu yang pernah ada dan bersedia.
Pantaskah aku berterima kasih
setelah apa yang aku ciptakan
menghasilkan reruntuhan kerusuhan antara
kamu, aku dan langit malam di atas atap rumahku, Rama?
Ah, aku bukan penyair ulung
menyerpih namamu yang begitu kutakutkan dulu
aku bukan juga, Rama, orang berpendidikan yang tidak pernah merangkai semasa hidupnya
malam ini aku merangkainya
perkata dan hal-hal yang akan kuurus nanti belakangan
sekarang saatnya kamu beristirahat
kita beristirahat dari omong kosong yang sudah saatnya dicegah
aku belum lupa kau tidak akan mentoleransinya
bagiku tidak apa,Â
Rama dan sudah aku tidak minta apa-apa lagi.
(November 2018, untuk Rama dan sepercik warna pada abu-abu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H