Mohon tunggu...
Inggrid Madelaine
Inggrid Madelaine Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya merupakan mahasiswa Universitas Parahyangan jurusan Hukum'22

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keseimbangan Antara Politik dan Agama yang Belum Nyata

13 Januari 2024   23:28 Diperbarui: 13 Januari 2024   23:48 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 2023, Konflik terus berlanjut antara Israel dan Palestina. Konflik pada Oktober 2023 bermula pada serangan yang lancar oleh Hamas pada 7 Oktober 2023. Kemudian, Israel melakukan serangan udara dan darat di Gaza sebagai respon terhadap serangan Roket dari Hamas, Organisasi militan Palestina. Operasi-operasi militer dilakukan dengan tujuan untuk menghapus kelompok militan Hamas dan mencegah serangan terhadap warga Israel. Operasi militer yang dilakukan oleh Israel dalam rangka menghapus kelompok militan Hamas ini melakukan serangan pada tempat-tempat yang diduga menjadi lokasi persembunyian kelompok militan Hamas, seperti rumah-rumah warga, rumah sakit, dll. Upaya-upaya diplomatik juga dilakukan untuk menyelesaikan konflik ini, namun upaya diplomatik tidak berjalan baik sehingga situasinya tetap belum stabil dengan ribuan warga Palestina tewas atau luka akibat serangan-serangan tersebut, sementara itu ribuan lainnya telah diserbu oleh Israel Defense Force (IDF). 

Pemerintahan dunia juga melakukan usaha untuk mengurangi konflik antara Israel dan Palestina, namun masih belum ada solusi Permanen sampai dengan sekarang. Begitu pun Pemerintah Indonesia yang berusaha untuk membantu konflik antara Israel dan Palestina, baik secara diplomatik maupun secara langsung, yaitu bantuan kemanusiaan. Walaupun konflik antara Israel dan Palestina merupakan konflik kemanusiaan, namun ketika berita telah masuk ke Indonesia pemberitaan sudah tercampur dengan kepentingan politik pihak-pihak terkait. Pemberitaan yang telah tercampur oleh kepentingan politik tersebut berdampak buruk untuk masyarakat dan politik di Indonesia. Dampak yang timbul di Indonesia terkait genosida Palestina adalah dalam PEMILU 2024 para capres dan cawapres menggunakan kesempatan ini untuk mencari simpatisan guna menarik suara dari rakyat. Dapat dilihat bahwa setiap capres memiliki caranya sendiri untuk mendukung Palestina dimana Capres dengan No. Urut 1 pada tanggal 5 November 2023 menyerukan aksi bela Palestina di Monas, disertai juga dengan Capres No. Urut 2 yang mengirimkan bantuan uang senilai Rp 5 Miliar untuk rakyat Palestina, dan juga Capres No. Urut 3 yang mengikuti jalan pagi bersama masyarakat di Makassar. Menurut penulis, upaya-upaya pembelaan yang dilakukan masyarakat terhadap Palestina juga merupakan bagian politik identitas dimana Palestina dan Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim.

Disisi lain, Israel menjadi negara dengan penduduk mayoritas Yahudi. Pengamatan penulis, masyarakat muslim di Indonesia tidak benar benar menyuarakan pembelaannya atas dasar kemanusiaan terhadap Palestina. Namun, dengan rasisme terhadap Yahudi yang tinggi, masyarakat Indonesia dapat menggunakan kesempatan ini untuk mengutarakan kebencian terhadap Yahudi tanpa mendapat labelling rasis dan memiliki alasan yang mutlak untuk menjustifikasi kebencian mereka. Kita dapat melihat peristiwa akhir tahun 2023 dimana pengungsi Rohingnya ditolak secara masif dan diusir oleh mahasiswa Aceh dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Sehingga apabila pembelaan ini atas dasar kemanusiaan, maka setiap orang harus diperlakukan selayak-layaknya manusia, jika terbukti sebaliknya seperti pembelaan terhadap Palestina dan bagaimana kita merawat pengungsi Rohingnya maka negara ini adalah negara yang rakyatnya memiliki hipokrisi moral yang tinggi.

Penulis menyadari bahwa Palestina ada dalam Konstitusi Indonesia sehingga menjadi kewajiban kita untuk mendukung kebebasan Palestina. Namun, penulis melihat bahwa aksi boikot yang dilakukan oleh rakyat Indonesia tidak hanya akan merugikan perusahaan yang pro-Israel tetapi juga merugikan ekonomi di negara kita sendiri serta meningkatkan angka pengangguran yang sudah tinggi. Penulis berpikir bahwa masyarakat Indonesia buta dalam melihat kontribusi pabrik Unilever dan P&G dalam memberi pekerjaan di Indonesia, apabila boikot ini dilakukan sehingga Unilever dan P&G mencabut pabriknya dari Indonesia maka akan ada ribuan orang yang kehilangan pekerjaan. Hal ini akan menjadi beban pemerintah dalam mengatasi pengangguran di Indonesia yang sudah tinggi. Menurut penulis, dengan membela negara lain sampai mengorbankan rakyat kita sendiri juga bukan hal yang manusiawi, penghasilan merupakan salah satu aspek terpenting dalam menjalani hidup untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan maka tidak seharusnya ada keluarga yang kehilangan kualitas hidup untuk membela kemanusiaan di negara lain. Sehingga menurut ukuran penulis, seberapa jauh kita dapat mendukung kebebasan Palestina? Sejauh tidak menjadi dampak negatif yang masif di negara kita sendiri. 

Serta adanya tindak inkonsistensi dalam penerimaan informasi yakni bias informasi menjadi salah satu dampak yang sangat besar. Selain berdampak pada aktivitas secara politik dengan adanya politik identitas yang sangat kental. Hal ini juga melahirkan tindakan yang tidak sesuai moral atau bisa disebut sebagai amoral. Mulai dari tindakan rasisme yang cukup mengkhawatirkan dikarenakan oleh beragamnya masyarakat di Indonesia, hingga persekusi terhadap agama lain karena kepentingan kelompok politik agama. 

Evolusi dari tindakan rasisme adalah tindakan anarkis yang tertuju pada kelompok agama tertentu dengan kepentingan politik tertentu. Maka dari banyak dari masyarakat minoritas di Indonesia kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat lainnya yang tentu merupakan mayoritas. Hal ini tentu menjadi masalah serius dan perlu adanya penanganan yang tepat bagi fenomena ini. Masyarakat harus mulai melihat kepentingan bersama bukan hanya kepentingan politik maupun agama. Nilai moral universal tentu sangat diharapkan kehadirannya dalam politik, politik tanpa moral, sungguh berbahaya.

Pelibatan agama dalam politik oleh penganutnya dimaksudkan untuk: (1) mengawal agar politik sesuai dengan etika dan ajaran agama, (2) melegitimasi aspirasi dan perilaku politik dengan ajaran agama, dan (3) membangun identitas dan solidaritas sosial. Karena di sebagian besar negara di dunia, agama tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari negara, maka agama pun tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari politik dan sebaliknya. Pelibatan agama dalam politik tidak bertentangan dengan demokrasi, dan hal ini pun terjadi di negara-negara Barat yang notabene sekuler.

Dalam konteks Indonesia, pada masa penjajahan, doktrin agama tentang jihad, misalnya, dipergunakan sebagai alat legitimasi perjuangan melawan penjajah. Demikian pula, di masa-masa awal kemerdekaan, dibentuk partai politik yang berdasarkan agama, yakni Partai Masyumi (Islam), Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Pada masa Orde Baru partai agama memang tidak diperbolehkan, sejalan dengan kebijakan pemerintah "de-ideologisasi politik" dan "de-politisasi agama". Namun demikian, agama tetap dipergunakan untuk melegitimasi program-program pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah. Di era reformasi ini partai politik berdasarkan agama diperbolehkan kembali, sejalan dengan pembangunan sistem demokrasi yang substantif dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.

Bagi warga yang memiliki orientasi keagamaan yang tinggi, segala perilaku, budaya, serta sistem hukum dan politik sedapat mungkin sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Dalam konteks ini agama menjadi alat legitimasi bagi perilaku dan orientasi politik seseorang. Oleh karenanya, aspirasi politik mereka tidak hanya didasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, tetapi juga pemenuhan kebutuhan spiritual (keagamaan). Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi fenomena di dunia, bahwa fungsi ketiga tersebut, yakni membangun identitas dan solidaritas sosial secara sempit, sangat menonjol untuk mendapatkan kekuasaan, yang terintegrasi dengan politik identitas dan populisme. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di luar Indonesia, termasuk negara-negara demokratis sekuler. Pelibatan agama dalam politik yang demikian ini kemudian disebut sebagai politisasi agama yang berkonotasi negatif dan dinilai tidak sejalan dengan etika demokrasi.

Keterlibatan agama dalam politik dapat dibedakan antara legitimasi keagamaan dan politisasi agama. Legitimasi keagamaan adalah penggunaan agama sebagai alat untuk memperkuat pemikiran dan tindakan seseorang atau suatu kelompok, baik dalam bentuk aspirasi politik, keputusan politik, atau gerakan politik melawan kezaliman. Sedangkan politisasi agama adalah penggunaan agama atau simbol-simbol agama sebagai alat untuk mendapatkan tujuan-tujuan politik atau untuk memobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilihan jabatan publik.Penggunaan isu-isu agama (politisasi agama) dalam pemilihan di Indonesia juga terjadi di Indonesia, terutama pada masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan juga pada Pilkada DKI 2016. Belum lama ini untuk menghadapi pemilu 2019 mendatang muncul ungkapan tokoh politik yang bisa disebut sebagai politisasi agama. Partai-partai yang tergabung dalam kelompoknya adalah Partai Allah (hizb Allh) dan disebut juga Poros Mekah, sedangkan partai-partai yang tergabung dalam kelompok lain adalah Partai Setan (hizb al-syaithn) dan disebut juga Poros Beijing.

Untuk melakukan pencegahan politisasi agama diperlukan upaya-upaya pelurusan pengertian dan batasan pelibatan agama dalam politik serta pelurusan pemahaman keagamaan yang dipergunakan untuk politisasi agama. Dalam hal ini, ungkapan bahwa agama harus lepas sama sekali dengan politik tentu saja kurang tepat, karena Indonesia adalah negara Pancasila, yang sangat menghormati kedudukan agama.  Agama bahkan sering dilibatkan dalam legitimasi politik untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut di atas. Namun, pelibatan agama dalam politik ini perlu diekspresikan dengan santun dan tidak mencampuradukkan antara kepentingan politik praktis dan agama, sehingga pelibatan agama ini tidak menimbulkan perpecahan, kebencian dan konflik SARA.

Di samping itu, diperlukan pula kesadaran semua pihak, terutama tokoh politik, tokoh organisasi keagamaan dan tokoh agama, akan pentingnya selalu menjaga persatuan bangsa, dan bahwa politisasi agama akan merendahkan posisi agama hanya sebagai alat memperoleh kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwasanya Agama dan politik sendiri tidak dapat menyatu karena keduanya memiliki tujuan serta lingkup yang berbeda.  Dalam hal ini agama memiliki tujuan sebagai pedoman moral juga  bertujuan untuk memberikan pedoman moral dan memandu individu dalam mencapai keselamatan rohani, sementara politik bertujuan untuk mengatur kehidupan sosial dan mencapai tujuan bersama. Namun, keduanya dapat saling melengkapi dalam fenomenologi agama.

Solusi yang dapat diberikan penulis adalah memperdalam pemahaman tentang hubungan antara agama dan politik, serta mencoba untuk menggunakan fenomenologi dalam memahami konflik dan harmoni antara agama-agama. Selain itu, dapat juga dengan mempelajari lebih lanjut tentang konsep-konsep dalam fenomenologi seperti pengalaman, kesadaran, dan hakikat agama.

Penulis:

  1. Timothy Immanuel Chan

  2. Hasna Nurul Aziza

  3. Inggrid Madelaine

  4. Almer Donato

  5. Calvin Daniel

  6. Joureal Arden

Selaku Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun