Kemajuan zaman yang sangat pesat tentu berbanding lurus dengan perkembangan teknologi. Â Seperti yang sekarang ini kita rasakan, segala macam hal jadi terasa lebih mudah dan cepat jika dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu. Sebagai contoh, dalam hal komunikasi dan hiburan, munculnya teknologi bernama smartphone (telepon pintar) mempermudah manusia untuk berinterkasi dan mencari hiburan. Meskipun demikian, kita masih tetap bisa menikmati teknologi yang sudah mulai dianggap kuno. Salah satu contohnya adalah radio.Â
Perangkat yang lebih dominan pada aspek pendengaran ini memang sudah semakin terpinggirkan oleh zaman. Daya imajinasi pendengar benar-benar dilatih ketika mendengarkan radio, sehingga kita perlu menyimaknya dengan saksama. Kira-kira seperti apa sejarah terciptanya radio? Dan bagaimana perkembangannya hingga kini? Simak penjelasannya sebagai berikut.
Sejarah Radio
Dilansir dari kanal Youtube Historia.id dalam video bertajuk Asal Usul Radio menyatakan, penemuan radio tidak dapat dipisahkan oleh percobaan yang dilakukan oleh Heinrich Hertz, seorang ilmuan asal Jerman. Hertz berhasil membuktikan secara fisik keberadaan gelombang radio pada tahun 1887. Namanya kemudian diabadikan sebagai satuan dalam frekuensi.Â
Selang beberapa tahun kemudian, seorang insinyur asal Italia bernama Guglielmo Marconi melakukan eksperimen pada gelombang elektromagnetik dan berhasil mengembangkan teknologi pemancar serta antena penangkap gelombang radio jarak jauh. Atas pencapaian ini, Marconi kemudian ditetapkan sebagai penemu radio.Â
Setelah melalui berbagai penambahan dan penyempurnaan pada komponen radio. Pada tahun 1906, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Reginald Fessenden (ilmuan asal Kanada) berhasil menyiarkan musik melalui radio. Keberhasilan ini kemudian membuat radio lebih berkembang lagi, khususnya pada bidang informasi & komunikasi. Terlebih lagi pada tahun 1919, berdiri Radio Corporation of America (RCA), perusahaan milik Amerika yang memproduksi radio secara massal.
Perkembangan Radio di Indonesia
Masuknya teknologi radio di Indonesia kala itu tidak lepas dari adanya pengaruh kolonialisme Barat. Menurut Wenri Wanhar dalam artikel Historia.id berjudul Malabar Bubar di Tangan Laskar menyebutkan, peresmian pemancar radio di Bandung pada 5 Mei 1923 merupakan awal dari masuknya radio di Indonesia. Stasiun pemancar ini bernama Stasiun Radio Malabar yang berlokasi di area lembah pegunungan. Dibangun oleh Cornelius Johannes de Groot dan diresmikan oleh Gubernur Jenderal de Fock. Tujuannya untuk menghubungkan Belanda dengan Hindia Belanda (Indonesia) melalui sarana radio sebagai alat komunikasi.Â
Kemudian dilanjutkan dengan pendirian stasiun radio milik Kolonial Belanda bernama Bataviasche Radio Vereeniging (BRV) di Batavia pada 16 Juni 1925. Berbeda dengan Malabar, "BRV lebih difungsikan sebagai radio penyiaran mengenai propaganda dan perdagangan." Tulis Daffa Firdaus dalam artikel berjudul Perkembangan Radio di Indonesia Sejak Masa Pendudukan Belanda Hingga Jepang.
Â
Pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, para pejuang merebut kantor radio Jepang (Hosokyoku) dan menyiarkan kabar proklamasi tersebut kepada masyarakat luas. Mereka kemudian mengubah Hosokyoku menjadi stasiun radio negara dengan nama Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945. Tanggal pendirian dari stasiun radio yang memilik semboyan "sekali di udara, tetap di udara" ini kemudian ditetapkan sebagai hari radio nasional dan diperingati setiap tahun.
Era kejayaan radio di Indonesia khususnya dalam siaran jurnalistik terjadi pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Hal ini ditandai dengan banyaknya stasiun radio yang semakin menjamur. "Dari awalnya sebanyak 794 buah, secara singkat melonjak menjadi 1200 buah. Selain itu, media televisi yang masih tergolong langka dan mahal membuat masyarakat memilih untuk tetap mendengarkan radio." Tulis Masduki dalam buku berjudul Jurnalistik Radio: Menata Profesionalitas Reporter dan Penyiar (2011).
Radio Dalam Arus Modernisasi
Sejak adanya perangkat elektronik lain yang lebih canggih, radio semakin lama mulai ditinggalkan oleh pendengarnya. Meskipun kini radio mulai merambah pada platform digital, seperti website & aplikasi sebagai upaya untuk terus relevan dengan zaman. Namun hanya kalangan tertentu saja yang masih setia mendengarkan radio. Mengutip dari Venessa Agusta Gogali dan Muhammad Tsabit dalam artikel bertajuk "Eksistensi Radio Dalam Program Podcast di Era Digital Konten", yang terhimpun dalam jurnal Global Komunika (2020) menyebutkan, stasiun radio perlu untuk memperhatikan segmentasi pasar dan pengemasan acara untuk disiarkan agar dapat menarik pendengar.
Bagi saya, selaku remaja generasi 2000-an, ada beberapa hal yang autentik dalam menikmati radio. Karena hal tersebut hanya dapat ditemukan di siaran radio. Di antaranya seperti segmen pembacaan salam-salam dan top chart musik mingguan di akhir pekan. Meskipun demikian, pada kenyataannya generasi seumuran saya lebih banyak memilih langsung menghubungi orang untuk saling berbalas pesan dan membuka platform digital untuk melihat tangga lagu populer mingguan.
Masa kejayaan radio memang semakin lama habis digerogoti oleh zaman. Radio juga mulai kewalahan untuk bertahan di tengah gempuran arus modernisasi peradaban yang tidak terelakan. Maka dari itu, kita selaku generasi muda perlu untuk melestarikan radio agar tidak hilang begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H