FAMAHEA : SALAH SATU RITUAL BUDAYA NONO NIHA MENYAMBUT TAMU BESAR
Dalam rangka pelaksanaan Misa Stasional di Dekanat Nias, Mgr. Fransiskus T. S. Sinaga, hari ini Sabtu, 21 Agustus 2021 secara resmi disambut dengan meriah oleh Umat Katolik Dekanat Nias. Penyambutan ini dilakukan dengan ritual Budaya Nono Niha atau Budaya Nias. Penyambutan yang dilaksanakan hari ini disamakan dengan penyambutan tamu terhormat dalam Budaya Nono Niha.
Salah satu bentuk penyambutan tamu terhormat dalam Budaya Nono Niha adalah Famahea / Lafahea (ditandu). Tamu yang terhormat tersebut akan duduk di atas kursi yang telah dipersiapkan, dan kemudian diaraka menuju lokasi tempat kegiatan. Dalam perarakan ini, turut diramaikan oleh para Ono Matua Fotuwuso (laki-laki perkasa) yang melakukan Tari Perang dan Hiwo (sorak-sorai budaya), kemudian disusul oleh Ono Alawe Sanari (Putri Penari). Ketika memasuki lingkungan tempat pesta, arak-arakan disambut dengan Sile Nono Matua Fotuwuso (Silat Lelaki Perkasa).
Terlepas dari pesta hari ini, salah satu nilai budaya yang ditunjukkan dalam penyambutan ini adalah Ritual Famahea (ditandu). Ritual ini tentunya bukan hanya ditujukan untuk penghormatan saja. Namun dalam Budaya Nono Niha, ritual ini memiliki nilai luhur yang ingin ditampilkan.
Pertama istilah yang digunakan: Famahea (ditandu). Seperti penggunaan kata pada umumnya, setiap suku kata dalam Bahasa Nias juga memiliki perbedaan jika penggunaan kata depan atau awalannya berganti. Famahea berangkat dari suku kata fahea (tandu). Jadi, kata famahea merupakan kata sifat yang menunjukkan sesuatu pekerjaan.
Kata famahea juga bisa diungkapkan dengan kata lafahea yang juga memilik makna yang sama adalah ditandu. Namun kata lafahea di sini justru menunjukkan banyaknya orang yang menandu dari pada tamu tersebut. Kata lafahea merupakan kata kerja dari fahea atau famahea yang pekerjaan tersebut dilakukan oleh banyak orang.
Dari uraian kata di atas dapat disimpulkan bahwa Ritual Famahea ini merupakan ritual yang dilakukan oleh sekelompok orang si hasara todo (kompak) menyambut tamu. Kekompakkan atau fahasara dodo ini ditampakkan ketika sekelompok orang yang mengangkat tandu itu seimbang, seirama, dan membuat tamu terhormat tersebut yakin dan tenang serta aman duduk.
Bagian kedua yang ingin ditampilkan adalah arak-arakan. Seperti diuraikan sebelumnya, tamu terhormat yang ditandu tersebut akan diarak. Arak-arakan ini bisa melewati rute yang telah ditentukan sebelumnya dan diikuti dengan beberapa kegiatan lain berupa Tari Perang dan Hiwo (sorak-sorai budaya).
Jika dilihat dari posisi perumahan adat Nono Niha pada zaman dahulu, seorang tamu akan ditandu dan diarak mulai dari bawa goli (gerbang kampung) sampai ke balo mbanua (ujung kampung), dan barulah diberhentikan fona nomo zatua (depan rumah besar) dimana pesta diselenggarakan. Semua ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa seorang tamu besar telah datang dan harus diketahui oleh semua orang di kampung tersebut.
No tohare dome sebua andro moroi ba dano sarou, mi'aine da ta'omusoi dododa (Seorang tamu besar telah datang dari negeri yang jauh, mari kita bergembira).
Bagian ketiga yang perlu ditunjukkan adalah dadaoma (tahta) yang digunakan. Sebelum melaksanakan prosesi perarakan, sowato (simpangkalan) telah menyediakan kursi yang diikat dengan baik dan benar serta mampu menompang orang yang akan duduk diatasnya. Kursi inilah yang kemudian disebut sebagai dadaoma (tahta).