APAKAH MENULIS ITU HARUS DIMULAI DENGAN SEMPURNA?
Setelah menayangkan artikel "Harimbale : Pasar Tradisional Ono Niha" di Kompasiana.com, saya kemudian membagikan link-nya ke setiap grup untuk dibaca. Tidak pernah saya lewatkan juga membagikan setiap artikel tersebut ke grup teman seangkatan. Selain meminta mereka untuk membaca artikel yang saya buat, saya juga sering meminta mereka untuk mulai menulis, mulai dari pengalaman harian hingga artikel lepas. Tujuan saya agar mereka juga seperti saya, mampu untuk menuangkan pemikirannya yang kemudian dibagikan ke publik atau masyarakat luas. Tentu ini menjawab salah satu tugas masyarakat akademik kepada publik atau masyarakat luas. Hal ini lebih dikenal dengan Pengabdian Kepada Masyarakat; lewat buah pikiran dan pengalaman.
Tidak disangka bahwa berbagai alasan dilontarkan, mulai dari tidak ada waktu hingga tidak ada ide bahkan yang lebih menarik perhatian saya adalah "saya tidak bisa menulis dengan baik dan benar". Saya kemudian berpikir, apakah menulis itu harus dimulai dengan sempurna?
Sambil istrahat di pondok Aristoteles dan menikmati segelas kopi hitam setelah makan siang, saya kemudian melihat kata-kata Aristoteles (384-322 SM) yang dulu saya buat menjadi nama dan semboyang dari pondok ini. Tidak ada seorang yang jenius tanpa sebuah pemikiran yang gila. Kata-kata Aristoteles ini kemudian ketika saya renungkan, ini menjadi jawaban pertayaan saya sebelumnya, apakah menulis itu harus dimulai dengan sempurna?
Dari kata-kata Aristoteles ini saya renungkan:Â Tidak ada tulisan yang sempurna tanpa dimulai dengan tulisan yang kacau balau. Saya meneruskan renungan saya bahwa, ketika mulai menginjakkan kaki di Sekolah Dasar khususnya kelas 1 (tanpa melewati sekolah taman kanak-kanak), tulisan tangan saya sungguh sangat kacau dan sering dikatai "tulisan cakar ayam". Namun tat kala saya terus-menerus belajar menulis, tulisan tangan saya akhirnya bisa dibaca.
Setelah merenung beberapa saat, saya melihat setidaknya ada tiga alasan mengapa orang (khususnya masyarakat akademik) susah menulis. Alasan yang saya maksudkan antara lain:
Kemauan dan Keinginan.Â
Kemauan dan kinginan yang saya maksudkan adalah seseorang itu merasa tertarik untuk melakukan kegiatan menulis. Kemauan dan keinginan ini tentu dibarengi dengan rasa tanggung jawab terhadap ilmu yang ia miliki. Sebagai wujud dari tanggungjawab itu ialah bahwa ia telah mendapatkan ilmu itu dengan cuma-Cuma, maka dari dia juga harus bertanggungjawab membagikannya dengan cuma-Cuma. Saya tertarik dengan apa yang pernah dikatakan oleh  Bapak Artidjo Alkostar seorang hakim Agung dalam wawancara bersama Najwa Shihab. Kurang lebih saya menangkap apa yang dikatakan beliau bahwa ia menulis semua jejaknya selama menjadi hakim dalam bentuk buku sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada publik.