Dalam bahasa Ibrani dan Latin ada satu nama yang menarik perhatian yakni "ARIEL". Hal ini terbesik dalam pikiran karena pekerjaan yang sedang dilakukan oleh si laki-laki sebagai salah satu dari tim penyusun bahan Aksi Puasa Pembangunan (APP) tahun 2020 untuk Keuskupan Sibolga. Tugas yang sedang dikerjakan saat itu adalah sedang dalam proses terjemahan kedalam bahasa Nias.
Nama "ARIEL" yang telah ditemukan berasal dari bahasa Ibrani tersebut memiliki arti "Singa" atau tepatnya "Singa Betina". Singa betina memberi gambaran bahwa walapun gagah, besar, dan menyeramkan, ternyata sifat feminimnya juga ada.Â
Hal ini mengingatkan akan pengalaman si laki-laki yang selama ini memiliki karakter kuat, keras dan lain-lain, ternyata saat tersedak karena menunggu kelahiran yang tidak kunjung lahir dan melihat istri kesakitan terus menerus, juga ikut meneteskan air mata dan hampir putus asa, menyerah kepada keadaan.
Selain itu, simbol dari "Singa" juga merupakan simbol dari Injil Markus. Injil yang ditulis oleh St. Markus digambarkan sebagai seekor singa yang bersayap. Singa yang bersayap ini mengingatkan akan Nabi Yesaya yang dalam Injil Markus dikisahkan sebagai seorang yang berseru-seru dipadang gurun menyerukan pertobatan. Suara yang berseru di padang gurun ini mengingatkan orang akan auman singa dan roh nubuat. Singa juga di sana digambarkan sebagai lambang dari jabatan rajawi, atau simbol bagi Putera Allah.
Singa juga diketahui merupakan hewan yang yang sangat buas. Akan tetapi dalam keluarga dan kelompoknya mereka tergolong sebagai kelompok yang tidak mudah tercerai-berai. Proses perburuan mereka selalu berkelompok atau tetap dalam kesatuan dengan keluarganya. Kehidupan singa ini juga diadopsi menjadi salah satu filosofi Ono Niha. Dikatakan bahwa: fa'azahazaha zingo, lo i'a nononia (sejahat-jahatnya singa, ia tidak memakan anaknya).
Nama "ARIEL" kemudian dalam bahasa Kristiani diterjemahkan menjadi Singa Tuhan. Singa Tuhan memiliki arti sebagai Pewarta Kabar Suka Cita. Pewarta Suka Cita di sini mengingatkan akan tugas utama dari sepasang suami istri ini yang adalah sama-sama sebagai Katekis (Pengajar Iman).Â
Si laki-laki menjadi pewarta iman di tengah umat sementara si istri menjadi pewarta iman di sekolah. Dalam perjalanan menjadi pewarta ini, suami istri ini juga meninggalkan keluarga besar laki-laki di Idanogawo dan keluarga besar perempuan di Mandrehe. Walaupun demikian, tetap berada dalam kesatuan lewat komunikasi setiap saat.
Awal Pemberian Nama Baptis atau Nama Pelindung:
Sebagai seorang Katolik, nama pelindung sudah menjadi identitas yang tidak boleh dihilangkan dari setiap orang. Nama ini bukan karena tidak ada alasan diberikan. Nama Baptis atau Nama Pelindung memiliki makna religius atau makna simbolik. Dengan memberikan nama baptis atau nama pelindung, sipenyandang nama diharapkan dilindungi oleh orang kudus tersebut dan diharapkan bahwa spirit dari orang kudus tersebut juga menjadi spirit dari si penyandang nama tersebut. Demikian anak yang baru lahir ini juga hendak diberi nama Baptis atau nama pelindungnya.
Dalam proses kelahiran bayi laki-laki ini, tidak terlepas dari keikutsertaan umat di Muzoi. Terinspirasi dari situ, direncanakan bahwa nama baptis atau nama pelindung bayi ini diambil dari Muzoi. Karena begitu banyak orang yang terlibat dan jika ditanya satu persatu, sudah barang tentu akan begitu banyak usulan. Akhirnya diputuskan bahwa pelindung aula Wilayah Pastoral Muzoi dijadikan nama baptis atau nama pelindung bayi ini. Nama pelindung dari Aula Wilayah Pastoral Muzoi ini adalah St. Lusianus.
Santo Lusianus merupakan seorang martir dari Antiokhia, sehingga sering dikenal dengan sebutan Santo Lusianus dari Antiokhia. Dalam proses menjadi seorang imam, Santo Lusianus mengenyam pendidikan Teologi, Filsafat, Retorika dan Sastra.Â