Penulis artikel "Angka Kasus HIV-AIDS di Makassar Membludak Akibat Sistem Rusak, Bagaimana Solusi Islam?" (Magfirah Abdullah, mahasiswa pasca sarjana UMI) ini di mediasulsel.com (1/12/2024) termakan (dipengaruhi) mitos bahwa penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi karena zina.
Padahal, secara empiris penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal) bisa terjadi di dalam atau di luar pernikahan yang sah menurut agama dan negara (sifat hubungan seksual), jika salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama (kondisi hubungan seksual).
Epidemi HIV/AIDS memang jadi soal besar di Indonesia karena sampai detik ini tidak ada program pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten dan kota yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung.
Padahal, laporan di jurnal internasional menunjukan Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, juga memiliki jumlah infeksi HIV baru terbesar keempat per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia 73.000 kasus infeksi HIV baru per tahun, hanya tertinggal dari China, India, dan Rusia (aidsmap.com, 2018).
Laporan di "Website HIV PIMS Indonesia" menunjukkan sepanjang tahun 2023 saja ditemukan 57.299 kasus HIV baru, sedangkan jumlah kasus HIV dari tahun 1987-2023 mencapai 566.707.
Kesan kuat yang menunjukkan penulis artikel termakan mitos zina yaitu keterangan pada sub-judul "Islam Sebagai Solusi Menyeluruh" di poin 3: Penerapan Hukuman yang Efektif yang membahas soal hukuman bagi pelaku zina. Â
Kalau benar zina yang menyebabkan penularan HIV/AIDS, maka semua pasangan suami-istri yang menikah karena hamil duluan di luar nikah yaitu melalui perzinaan mereka sudah jadi Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Faktanya? Tidak!
Selain itu setiap saat jutaan warga dunia melakukan zina di lokasi-lokasi pelacuran yang resmi dan tidak resmi serta perzinaan dengan cewek melalui prostitusi online (Daring-dalam jaringan), tapi data UNAIDS menunjukkan sejak tahun 1981 jumlah kasus HIV/AIDS hanya 39,9 juta (unaids.org).
Kalau benar zina penyebab seseorang tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, maka semua warga dunia yang melakukan zina sudah tertular HIV/AIDS.
Faktanya? Tidak!
Begitu juga dengan pelaku 'kumpul kebo' jika benar zina penyebab penularan HIV/AIDS, maka semestinya mereka itu semua sudah jadi pengidap HIV/AIDS bahkan ada yang menurunkan ke bayi yang mereka lahirkan.
Faktanya? Juga tidak!
Memang, sangat disayangkan instansi yang sejatinya berpijak pada fakta medis yaitu Kementerian Kesehatan (d/h. Departemen Kesehatan) justru mengumbar mitos terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Kalaupun kemudian ada yang tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual di luar nikah itu terjadi karena salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Begitu juga dengan kejadian seseorang tertular melalui hubungan seksual di dalam nikah itu terjadi karena salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan suami tidak pakai kondom setiap melakukan sanggama.
Data di "Website HIV PIMS Indonesia" menunjukkan dari tahun 1987 -- Desember 2023 kasus AIDS terdeteksi pada 21.454 ibu rumah tangga. Jumlah ini terbanyak ketiga secara nasional. Mereka ini tertular dari suami melalui hubungan seksual dalam ikatan pernikahan yang sah.
Ketika satu pasangan dengan kondisi keduanya HIV-negatif, maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV/AIDS.
Maka, dalam konteks HIV/AIDS yang terkait dengan penularan HIV/AIDS adalah perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS,
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung (kasat mata) dan PSK tidak langsung yaitu cewek prostitusi online (Daring), dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari PSK dan cewek tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Yang perlu diingat PSK ada dua tipe, yaitu:
- PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan. Tapi, sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua lokalisasi pelacuran di Indonesia sehingga lokaliasi pelacuran pun sekarang pindah ke media sosial. Transaksi seks pun dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekuasinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat. PSK langsung pun akhirnya 'ganti baju' jadi PSK tidak langsung.
- PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, pemandu lagu, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek PSK online. Transaksi seks terjadi melalui berbagai cara, antara lain melalui ponsel.
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (anal) dengan Waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga Waria (ditempong), sedangkan Waria jadi 'laki-laki' (menempong), bisa saja Waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tertular HIV, yaitu:
(5). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,
(6) Memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan berganti-ganti dan bergiliran, terutama pada penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) karena bisa saja salah satu mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik dan ke tabung yang salnjutnya disuntikkan ke badan penyalahguna yang lain.
Dalam artikel (3. Penerapan Hukuman yang Efektif) ada frasa: perilaku menyimpang. Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah seorang suami atau istri yang melakukan perselingkuhan termasuk perilaku menyimpang?
Soalnya, sepanjang yang saya ikuti di media massa, media online/portal berita dan media sosial tidak pernah perselingkuhan disebut sebagai perilaku menyimpang.
Padahal, studi Kemenkes mencatat hingga akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok yang paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (bali.antaranews.com, 9/4/2013). Yang bikin miris 4,9 juta di antara 6,7 pria itu mempunyai istri. Itu artinya ada 4,9 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya.
Terkait dengan pelacuran, yang disebut-sebut sebagai pekerjaan seumur manusia, yang disediakan di beberapa negara Eropa itu merupakan kewajiban negara untuk memenuhi hak warga negara. Tapi, praktek pelacuran di luar lokalisasi adalah ilegal dan berhadapan dengan hukum.
Yang sangat ironis, seperti sering disampaikan (Alm) dr Kartono Mohamad, pernah jadi Ketua PB IDI, penularan virus hepatitis B persis sama dan serupa dengan cara penularan HIV/AIDS. Tapi, orang tidak malu-malu mengakui dirinya mengidap hepatitis B. Bahkan, dulu Askes ganti biaya pengobatan hepatitis B tapi menolak mengganti biaya pengobatan PIMS (penyakit infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis dan lain-lain) serta HIV/AIDS.
Ada lagi pernyataan: Kasus HIV-AIDS di Makassar menjadi alarm bagi kita semua bahwa sistem kehidupan sekuler hanya membawa kehancuran.
Di negara-negara dengan penerapan hukum agama yang ketat sekalipun tetap saja ada kasus HIV/AIDS karena bisa saja warganya melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS di luar negaranya.
Maka, cara yang arif dan bijaksana melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS adalah menghindari perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H