Sejak pemerintah Indonesia mengakui ada kasus HIV/AIDS yaitu setelah ada kematian wisatawan WN Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tahun 1987.
Pengakuan ini bermuatan politis, sekaligus mengukuhkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual (WN Belanda itu diketahui seorang gay). Mitos ini diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat yang selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama di awal-awal epidemi sehingga menenggelamkan fakta medis HIV/AIDS dan menyuburkan mitos.
Baca juga: Menyoal Kapan Kasus HIV/AIDS Pertama Ada di Indonesia (Kompasiana, 3 Januari 2011)
Maka, tidak mengherankan kelau kemudian laporan kasus kumulatif HIV/AIDS terus bertambah dari tahun ke tahun. Laporan "Website HIV PIMS Indonesia" (ditandatangani oleh dr Imran Pambudi, MPHM, tanpa tanggal) dari tahun 1987 sampai 2023 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di seluruh Indonesia mencapai 729.219 yang terdiri atas 566.707 HIV dan 162.512 AIDS. Jumlah kematian terkait HIV/AIDS Â dilaporkan 27.000 (aidsdatahub.org)
Dalam sebuah laporan jurnal kesehatan internasional disebutkan bahwa Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, juga memiliki jumlah infeksi HIV baru terbesar keempat per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) memperkirakan di Indonesia ada 73.000 kasus infeksi HIV baru per tahun, hanya tertinggal dari China, India, dan Rusia (aidsmap.com, 4 September 2018).
Laporan "Website HIV PIMS Indonesia" menunjukkan kasus baru HIV tahun 2023 sebanyak 57.299, sedangkan kasus kumulatif mencapai 74.420 yang terdiri atas 57.299 HIV dan 17.121 AIDS. Angka ini tentu saja tidak menggambarkan kasus baru yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Pada saat yang sama beberapa negara, seperti Thailand, justru menunjukkan terjadi penurunan kasus infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa. Indikatornya adalah penurunan jumlah calon taruna militer yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Thailand menjalankan lima program penanggulangan HIV/AIDS yang realistis secara serentak dengan skala nasional (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000). Yang pertama adalah memanfaatkan media massa sebagai media pembelajaran masyarakat.
Persoalan besar di Indonesia media massa, sekarang ditambah dengan media online/portal berita serta media sosial justru banyak yang menyebarkan informasi HIV/AIDS yang tidak berpijak pada fakta medis.
Baca juga: Hari Pers Nasional: Menagih Peran Aktif Media dalam Penanggulangan AIDS (Kompasiana, 9 Februari 2019)
Misalnya, baik pemerintah maupun kalangan yang terkait dengan HIV/AIDS mengumbar 'seks bebas' yang justru tidak jelas juntrungannya sebagai penyebab HIV/AIDS. Ini menyesatkan karena jika 'seks bebas' diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah (baca: zina), maka itu adalah mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS (Kompasiana, 17 Mei 2022)
Program 'wajib kondom 100 persen bagi laki-laki pada hubungan seksual dengan PSK' di industri seks, menurunkan jumlah kasus infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Thailand. Ini bisa dilakukan karena praktek PSK dilokalisir dan diatur langsung oleh pemerintah.
Langkah itu tidak bisa dilakukan di Indonesia karena sejak reformasi 1988 semua tempat (lokalisasi) pelacuran ditutup. Akibatnya, lokalisasi pelacuran pindah ke media sosial dengan transaksi daring (dalam jaringan) melalui Ponsel. Ini tidak bisa diintervensi karena eksekusi terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Epidemi HIV/AIDS tidak mengenal batas daerah dan negara secara fisik dan administrasi sehingga penanggulangan HIV/AIDS tergantung pada perilaku seksual dan nonseksual berisiko warga, terutama laki-laki dewasa.
Baca juga: Hanya Orang per Orang yang Bisa Memutus Mata Rantai Penularan HIV/AIDS Melalui Hubungan Seksual (Kompasiana, 3 Juni 2024)
Maka, program penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan ole pemerintah, dalam hal ini Kemenkes dan jajarannya serta institusi yang terkait harus berpijak pada fakta medis agar informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS akurat tidak lagi sebatas orasi moral yang berbuah mitos belaka.
Jika tidak ada program penanggulangan yang komprehensif, dengan pertambahan kasus HIV baru 57.299 per tahun, maka pada tahun 2045 yaitu 'Indonesia Emas' kasus baru HIV sebanyak 1.203.279. Sehingga jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS pada tahun 2045 akan terus bertambah dengan penemuan kasus AIDS yang juga ribuan per tahun. Â <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H