"Perilaku heteroseksual masih menjadi faktor risiko utama penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Kota Jogja" Ini lade pada berita "Heteroseksual jadi Pemicu Utama Kasus HIV/AIDS di Kota Jogja" (jogjapolitan.harianjogja.com, 21/9/2024).
Petama, pernyataan pada lead berita ini misleading (menyesatkan) karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual, dalam hal ini disebut heteroseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual penetrasi (vaginal dan anal) di dalam dan di luar nikah yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Maka, penyebaran HIV/AIDS di Kota Jogja bukan karena heterosekual, tapi karena hubungan seksual yang berisiko yaitu seks penetrasi (vaginal atau anal) pada kalangan heteroseksual (hasrat seksual terhadap lawan jenis) yaitu:
- Dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan di dalam dan di luar nikah dengan kondisi tidak diketahui status HIV keduanya serta laki-laki tidak memakai kondom,
- Dilakukan oleh perempuan dengan laki-laki di dalam dan di luar nikah dengan kondisi tidak diketahui status HIV keduanya serta laki-laki tidak memakai kondom,
- Dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang sering ganti-ganti psangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata) dan PSK tidak langsung (PSK tidak kasat mata, seperti cewek kafe, cewek pub, cewek prostitusi online dan lain-lain) dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
- Dilakukan oleh perempuan dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Kondisi di atas yang memicu penyebaran HIV/AIDS di Kota Jogja yang ditambah dengan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga yang ditularkan oleh suaminya, serta HIV/AIDS pada bayi yang tertular dari ibu yang mengandungnya, terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Kedua, yang menular atau menyebar adalah HIV sebagai virus, sedangkan AIDS adalah kondisi seseorang yang tertular HIV yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART). AIDS jelas tidak menyebar atau menular.
Disebukan oleh Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Menular (P2M) dan Imunisasi Dinkes Kota Jogja, Endang Sri Rahayu, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Jogja sejak 2004 hingga September 2024 mencapai 1.941 kasus yang terdiri atas 1.619 HIV dan 322 AIDS.
Dalam laporan Website HIV PIMS Indonesia dari tahun 1987 s.d. 31 Maret 2023 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di DIY mencapai 10.407 yang terdiri atas 8.605 HIV dan 1.802 AIDS. Jumlah ini menempatkan DIY di posisi ke-14 secara nasional.
Tapi, perlu diingat jumlah kasus yang dilaporkan (1.941) tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Celakanya, tidak ada satu daerahpun di Indonesia yang mempunyai program yang konkret untuk mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS di masyarakat. Akibatnya, warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran secara diam-diam ini bak 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakanAIDS' di DIY.
Disebutkan oleh Endang: "Rata-rata penderita (HIV/AIDS) yang tertinggi berusia 20 sampai 29 tahun. Tetapi terpaparnya kan sebelumnya, berarti saat remaja mereka sudah terpapar." Ini kondisi yang realistis karena di rentang waktu itu libido tinggi, tapi informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang mereka peroleh, terutama dari media massa dan media online, hanya mitos (anggapan yang salah tentang HIV/AIDS). Akibatnya, mereka tidak mengetahui cara-cara yang benar untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, terutama di kalangan heteroseksual.
Baca juga - AIDS di Yogyakarta: Yang Bikin Miris Bukan AIDS pada Pelajar dan Mahasiswa, tapi Pada Laki-laki Dewasa (Kompasiana, 29 Januari 2016) dan AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis (Kompasiana, 7 September 2018)
Disebutkan oleh Endang: ".... perilaku heteroseksual menduduki urutan tertinggi HIV/AIDS dengan 939 kasus, ...." Pernyataan ini tidak akurat karena kasus HIV/AIDS pada kalangan heteroseksual bukan karena perilaku heteroseksual, tapi karena perilaku seksual yang berisiko di kalangan heteroseksual, seperti yang dijelaskan di atas.
Disebutkan dalam berita: Untuk menekan penambahan kasus, kata Endang, Dinkes Kota Yogyakarta mengintensifkan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat, khususnya populasi khusus yang rentan terjangkit seperti komunitas LSL, waria, maupun ibu hamil yang rentan menularkan HIV/AIDS ke anak.
Sejak pemerintah mengakui ada epidemi HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 1987, epidemi global sejak tahun 1981, sosialisasi sudah dilakukan tapi hasilnya nol besar karena materi HIV/AIDS dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dibalut dan dibumbui dengan norma dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS yang bermuara pada mitos.
Dalam berita dijelaskan kasus HIV/AIDS terbanyak pada kalangan heteroseksual, tapi tidak menyebutkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan, tapi sasaran sosialisasi justru bukan ke kalangan ini.
Ibu hamil adalah korban yaitu tertular dari suami, maka sejatinya Dinkes Kota Jogja menyasar laki-laki heteroseksual agar mereka tidak lagi menularkan HIV/AIDS ke istrinya.
Terkait dengan skrining HIV/AIDS baik melalui survailans tes HIV atau VCT merupakan langkah di hilir karena kalau ada yang terdeteksi HIV-positif itu artinya mereka sudah melakukan perilaku seksual atau nonseksual berisiko.
Yang diperlukan adalah langkah hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui perilaku seksual berisiko dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Tanpa langkah yang konkret di hulu, maka kasus HIV/AIDS di Kota Jogja akan terus bertambah yang pada akhirnya merusak tatanan kesehatan masyarakat dan jadi beban pemerintah setempat. <>
*Â Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H