Tampaknya, pemerintah tidak belajar dari pengalaman terkait dengan epidemi dan pandemi penyakit yang jadi masalah kesehatan masyarakat.
Ketika epidemi HIV/AIDS menggemparkan dunia pada tahun 1981 Indonesia mati-matian menolak kalau HIV/AIDS ada di Indonesia. Begitu juga dengan virus corona, yang belakangan disebut WHO sebagai Covid-19, bahkan memakai dalil agama untuk meyakinkan masyarakat bahwa Covid-19 tidak ada di Indonesia.
Indonesia baru mengakui ada kasus HIV/AIDS di Indonesia setelah ada turis Belanda, laki-laki gay, yang meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987).
Celakanya, kasus itu justru jadi pintu masuk untuk menggiring opini publik bahwa HIV/AIDS adalah penyakit orang bule, penyakit gay dan seterusnya. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS ditenggelamkan mitos (anggapan yang salah).
Baca juga: Menyoal Kapan Kasus HIV/AIDS Pertama Ada di Indonesia
Begitu juga dengan Covid-19 ketika kasus pertama diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Menkes (ketika itu) Terawan Agus Putranto pada 2/3/2020 disertai dengan riwayat kontak penderita yaitu tertular di lantai dansa. Akibatnya muncul mitos, diskriminasi dan stigmatisasi. Padahal, penularan virus corona bukan karena sifat kontak, tapi karena ada droplet yang keluar saat berbicara, bersin atau batuk pada kontak yang dekat dalam berbagai bentuk.
Padahal, sebelumnya, tepatnya 27/1/2020, ada judul berita: Jokowi Pastikan Virus Corona Tak Terdeteksi di Indonesia (ayobandung.com, 27/1/2020). Selanjutnya: Ma'ruf Amin: Berkat Doa Kiai dan Qunut, Corona Menyingkir dari Indonesia (liputan6.com, 29/2/2020) yang dilengkapi dengan pernyataan Menkes (waktu itu) Terawan Agus Putranto: Terawan Bicara Kekuatan Doa yang Bikin RI Bebas Corona (cnbcindonesia.com, 17/2/2020), serta ini: Mahfud: RI Satu-satunya Negara Besar di Asia Tak Kena Corona (cnnindonesia.com, 7/2/2020).
Sekarang muncul pula pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, ini juga bisa mendorong mitos (anggapan yang salah): Penularan cacar monyet ini katanya 95 persen disebabkan oleh kontak seksual dan umumnya terjadi di kelompok tertentu saja (Menkes: Kasus Cacar Monyet Varian 1B Belum Terdeteksi di Indonesia, VOA Indonesia, 28/8/2024).
Penyebutan 'kelompok tertentu saja' merupakan pernyataan yang konotatif yang bisa membawa ke kalangan tertentu berdasarkan orientasi seksual, dalam hal ini homoseksual yaitu laki-laki gay.
Lagi pula kasus-kasus cacar monyet juga terdeteksi pada anak-anak, laki-laki dan perempuan dengan berbagai orientasi seksual.
Agaknya, media massa dan media online di dunia juga ada yang membalut dirinya dengan moral. Lihat saja kasus penurunan sistem kekebalan tubuh, yang kemudian dikenal sebagai AIDS yang disebutkan HIV, media ramai memberitakannya di tahun 1981 dengan kasus pada laki-laki gay di San Fransisco, California, pantai barat Amerika Serikat (AS).
Padahal, pada waktu yang sama kasus serupa juga terdetek pada pekerja seks komersial di pantai timur AS. Kasus pada PSK itu tentu saja terkait dengan laki-laki heteroseksual. Tapi, tidak di-blow up seperti kasus pada laki-laki gay.
Penularan virus cacar monyet (Mpox - Monkeypox Virus) bukan karena orientasi seksual dan melakukan hubungan seksual (heterosekusal, homoseksual atau biseksual), tapi karena terjadi pergesekan dari kulit ke kulit antara pengidap Mpox dan yang tidak mengidap Mpox melalui berbagai cara: berpelukan erat, ciuman, bersin dan batuk melalui droplet, dan hubungan seksual yang memungkinan terjadi pergesekan kulit ke kulit.
Penularan melalui pergesekan kulit ke kulit terjadi dari kulit dengan lesi akibat Mpox ke kulit lain pada berbagai macam kegiatan. Maka, penularan virus cacar monyet bukan STDs (sexually transmitted disease) yang diindonesiakan jadi penyakit infeksi menular seksual (PIMS).Â
Yang termasuk PIMS antara lain: kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, virus kanker serviks, klamidia, herpes genitalis, jengger ayam dan lain-lain.
Mitos terkait dengan cara penularan virus cacar monyet ini akan menambah daftar panjang mitos di Indonesia tekait dengan cara-cara penularan penyakit: sebelumnya penularan HIV/AIDS disusul Covid-19 yang hanya sebatas mitos yg sampai ke masyarakat yang bermuara pada stigmatisasi dan diskriminasi.
Sejatinya pemerintah lebih arif dan bijaksana dalam memberikan informasi terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan penyakit dengan tidak membubuinya dengan norma, moral dan agama agar tidak terjadi mitos (dari berbagai sumber). <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H