Di banyak negara (maju) kegemaran membaca (reading society) sebagai bagian dari kehidupan yang merupakan konstuksi sosial di sosical settings.
Seperti yang kita alami ketika mulai belajar di tingkat dasar (sekolah dasar/SD dahulu sekolah rakyat/SR) selain kegiatan jasmani dan rohani guru mengajarkan abjad yang kemudian belajar membaca.
Di tahap-tahap selanjutnya membaca jadi pijakan untuk mengenal tanda baca, seperti titik, koma, tanda kurung dan seterusnya untuk merekonstruksi kalimat (KBBI: kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan). Maka, dahulu di SD dikenal ada ‘kalimat buta’ yaitu rangkaian kata tanpa tanda baca yang jadi tugas bagi murid untuk merekonstruksinya jadi bacaan dengan tanda baca.
Setelah reading society berlanjut ke writing society (gemar menulis, dalam hal ini menulis dalam pengertian yang luas yaitu mengarang). Pada akhirnya murid diajak untuk menuliskan cerita, dahulu disebut mengarang, yang sekarang sudah lenyap dari pendidikan dasar di sekolah formal.
Dalam kaitan inilah kehadiran pasangan Tjiptadinata Efendi dan Roselina Efendi, yang kini bermukim di Australia, sebagai Kompasianer, ini julukan untuk para penulis di platform kompasiana.com, yang mengunggah (upload) tulisan mereka secara berkesinambungan yang bisa jadi panutan.
Tanpa melewati reading society tentulah tidak mudah bagi Pak Tjiptadinata dan Bu Roselina untuk mengunggah tulisan secara rutin tahun demi tahun di Kompasiana.
Celakanya, konstruksi sosial terkait dengan reading society dirusak oleh stasiun televisi (TV) yang menayangkan Sinetron (sinema elektronik sandiwara dan film pendek yang ditayangkan TV) dan belakangan muncul pula Telenovela (drama serial TV terutama produksi Amerika Latin).
Gelombang Sinetron dan Telenovela merusak media habit yaitu pola hidup masyarakat terkait dengan kebiasaan memanfaatkan media yang sejatinya dimulai dengan kegemaran membaca (reading society) kemudian ke writing society (kegemaran menulis). Tapi, di Indonesia belum sampai pada reading society sudah melompat ke filming society (kegemaran menonton) sehingga melewatkan writing society (kegemaran menulis) dan menenggelamkan reading society (kegemaran membaca).
Baca juga: Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat*
Ironisnya, masyarakat Indonesia belum masuk ke ranah reading society sudah dibombardir dengan acara-cara terkait film merupakan ranah filming society (gemar menonton film). Ini secara sosial terjadi setelah reading sosicety lanjut ke writing society barulah masuk ke filming society.
Itulah sebabnya banyak film yang bagus dan menerima penghargaan yang diproduksi berdasarkan hasil tulisan (karangan), seperti cerita pendek (Cerpen), cerita bersambung (Cerbung) dan novel (KBBI: karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku).
Kondisinya kian runyam karena pendidikan formal tidak (lagi) mendukung untuk mencapai reading society. Belakangan hadir pula internet yang mendukung telepon seluler (Ponsel) pintar. Ada studi yang menunjukkan masyarakat Indonesia jadi pecandu internet tertinggi di dunia, tapi celakanya terkait dengan literasi pelajar kita nomor lima terbawah.
Baca juga: Ironis Warga Indonesia Kecanduan Ponsel Paling Top di Dunia tapi Literasi Pelajar Nomor 5 dari Bawah
Makanya, langkah yang diambil oleh Pak Tjip dan Bu Roselina menuliskan berbagai hal yang mereka alami dalam mengarungi kehidupan yang pada Februari 2025 akan merayakan 60 tahun pernikahan (diamond) bisa jadi motivasi bagi masyarakat, terutama kalangan muda, untuk menuliskan berbagai hal yang merupakan bagian dari kehidupan dalam keseharian.
Selain bisa dijadikan sebagai latar belakang untuk menemukan ide atau gagasan, tulisan juga erat kaitannya dengan kerja otak. Memang, yang dianjurkan adalah menulis dengan tangan (tulis tangan) karena mendukung kesehatan emosional yang pada gilirannya membantu untuk melawan penurunan kognitif (KBBI: berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris).
Namun, menulis dengan memakai mesin tik, mesin tik elektronik dan kini melalui keypad di PC atau Laptop juga merupakan bagian dari upaya untuk menyehatkan kognisi
Karena menulis dengan memanfaatkan otak untuk berpikir, maka menulis akan mendorong seseorang untuk tetap kreatif dalam menjalani kehidupan di alam nyata. Inilah yang ditunjukkan oleh pasangan Pak Tjip dan Bu Roselina di usia yang sudah tidak muda lagi tidak kalah dalam kualitas dan kuantitas tulisan.
Soalnya, belakangan ini kian banyak yang hidup di ‘alam maya’ dengan patokan jumlah teman atau ‘suka’ (like) di media sosial, tapi di kehidupan sosial mereka justru terasing. Tidak bisa lagi tegur-sapa sehingga menjalani kehidupan yang menyendiri dengan pegangan ‘alam maya.’
Baca juga: Keraskan Volume Speaker Ponsel di Tempat Umum Gejala Terisolasi dari Lingkungan Sosial Â
Bagi yang memanfaatkan otak kiri, maka menulis merupakan upaya untuk memanfaatkan otak kanan yang sejatinya merupakan 'sumber' kreativitas. Ini jadi klop dengan kegemaran menulis yang sejatinya memerlukan kreativitas.
Selamat atas peringatan "60 Tahun Tjiptadinata Efendi dan Roselina Efendi" pada Februari 2025 semoga YMK memberikan rahmat agar pasangan ini terus menulis untuk mendorong kehidupan dengan pemikiran yang lebih sehat agar terhindar dari ujaran kebencian dan hoaks (dari berbagai sumber). <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H