Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan Bias Gender

12 Agustus 2024   08:58 Diperbarui: 12 Agustus 2024   09:38 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2024 menunjukkan terjadi bias gender karena hanya menyasar perempuan, dalam hal ini ibu yang lebih spesifik istri atau ibu rumah tangga.

Di Paragraf 2 Kesehatan Ibu pada Pasal 9 ayat 1: Upaya Kesehatan ibu ditujukan untuk melahirkan anak yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan angka kematian ibu.

Kehamilan seorang ibu (baca: perempuan) tidak semata-mata ada pada ibu, tapi juga erat kaitannya dengan kualitas kasih sayang dan sperma suami serta penyakit menular yang diidap suami (baca: laki-laki). Misalnya, terkait dengan genetik suami yang bisa diturunkan kepada anak yang dilahirkan istri. Selain itu HIV/AIDS dan PIMS () yang diidap suami juga mempengaruhi kehamilan, persalinan dan kesehatan bayi yang dilahirkan.

Celakanya, dalam PP ini sama sekali tidak ada pasal yang menyasar suami (baca: laki-laki) terkait dengan kelanjutan reproduksi keluarga atau pasangan suami-istri.

Di Pasal 9 ayat 2 disebutkan: Upaya Kesehatan ibu ditujukan untuk melahirkan anak yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan angka kematian ibu, juga ditujukan untuk mencapai kehidupan ibu yang sehat dan mencegah kedisabilitasan pada anak.

Adalah hal yang mustahil kesehatan ibu yang sehat bisa tercapai kalau suami mengidap penyakit HIV/AIDS dan PIMS. Infeksi HIV dan PIMS menempatkan seorang ibu sebagai pengidap HIV/AIDS atau salah satu bisa juga beberapa PIMS.

Situs resmi WHO menyebutkan PIMS yang disebabkan oleh bakteri, parasit dan virus sudah lebih dari 30 jenis yang sudah teridentifikasi yang bisa ditularkan melalui hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal dan anal). Beberapa PIMS juga dapat ditularkan dari-ibu-ke-anak yang dikandungnya selama kehamilan, persalinan, dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

PIMS yang sudah diidentifikasi secara medis, antara lain: sifilis (raja singa), gonore/GO (kencing nanah), klamidia, trikomoniasis, klamidia, hepatitis B, herpes simpleks (HSV), HIV, dan human papillomavirus (HPV). Ada juga mpox, Shigella sonnei, Neisseria meningitidis, Ebola dan Zika. Sedangkan limfogranuloma venereum disebutkan terabaikan.

Setiap hari secara global lebih dari 1 juta terjadi infeksi PIMS yang bisa disembuhkan. Pada tahun 2020 WHO memperkirakan terjadi 374 juta infeksi baru, yaitu: klamidia (129 juta), gonore (82 juta), sifilis (7,1 juta) dan trikomoniasis (156 juta).

Selain itu pada tahun 2016 lebih dari 490 juta warga dunia diperkirakan hidup dengan herpes genital.Pada tahun yang sama diperkirakan 300 juta wanita hidup dengan infeksi HPV (penyebab utama kanker serviks), juga kanker anus di antara pria yang berhubungan seksual dengan pria.

Perkiraan terbaru WHO menunjukkan pada tahun 2022  254 juta waga dunia hidup dengan hepatitis B.

Laporan WHO juga menyebutkan penularan PIMS dari-ibu-ke-anak yang dikandungnya bisa mengakibatkan bayi lahir dengan kondisi meninggal, kematian neonatal, berat badan lahir rendah dan prematuritas, sepsis, konjungtivitis neonatal, dan kelainan bawaan.

Ibu pengidap HIV/AIDS atau PIMS atau keduanya sekaligus tertular dari suaminya melalui hubungan seksual.

Di Indonesia sendiri suami yang tularkan HIV/AIDS dan PIMS atau keduanya sekaligus kepada istrinya bukan isapan jempol belaka. Studi Kemenkes mencatat hingga akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok yang paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (bali.antaranews.com, 9/4/2013). Yang bikin miris 4,9 juta di antara 6,7 pria itu mempunyai istri. Itu artinya ada 4,9 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya.

Laporan Eksekutif Perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2023 yang dipublikasikan oleh Web Site Resmi HIV/AIDS & PIMS Indonesia menunjukkan pada periode Januari -- Maret 2023 estimasi ibu hamil sebanyak 4.719.130:

  • Ibu hamil yang tes HIV sebanyak 680.270 (14,42%)
  • Ibu hamil HIV-positif sebanyak 2.133 (0,31%)
  • Dari 2.133 ibu hamil HIV-positif hanya 356 yang menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART (16,69%)
  • Bayi usia <1 tahun yang lahir dari ibu HIV-positif sebanyak 134 (6,28%)
  • Bayi usia <18 bulan yang lahir dengan HIV sebanyak 28 (1,31%)

Selain itu:

  • Ibu hamil yang tes sifilis 291.646 (6,18%)
  • Ibu hamil yang positif sifilis 1.755 (0,60%)
  • Ibu hamil positif sifilis yang menjalani pengobatan 818 (46,16%)
  • Bayi <18 bulan yang lahir dengan sifilis sebanyak 159 (9,06%)

Sayang, data yang dipublikasi hanya sampai 31 Maret 2023, sehingga tidak ada gambaran yang nyata tentang kasus HIV/AIDS dan sifilis pada ibu hamil sejak 1 April 2023 sampai 31 Juli 2024.

Celakanya, yang dilakukan pemerintah hanya menyasar ibu hamil yaitu tes HIV dan sifilis, sedangkan suami ibu hamil tidak menjalani tes HIV dan sifilis.

Ilustrasi (Sumber: parents.com)
Ilustrasi (Sumber: parents.com)

Maka, harapan yang tertuang di Pasal 10 ayat 1: "Upaya Kesehatan ibu dilakukan pada masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan" tidak akan tercapai jika suami mengidap HIV/AIDS atau PIMS atau keduanya sekaligus karena ada risiko istri tertular HIV/AIDS atau PIMS atau keduanya sekaligus.

Kalau saja PP ini dijalankan tanpa bias gender, maka upaya kesehatan ibu yang dilakukan pada masa sebelum hamil adalah tes genetik, HIV/AIDS dan PIMS terhadap suami setelah akad nikah atau perkawinan disahkan oleh pejabat yang berwewenang.

Hasil tes ini akan jadi pegangan terkait dengan kesehatan ibu kelak di masa kehamilan.

Jika suami tidak menjalani tes genetik, HIV/AIDS dan PIMS setelah menikah, maka ketika istri hamil suami wajib menjalani tes genetik, HIV/AIDS dan PIMS.

Kalau suami mengidap HIV/AIDS atau PIMS, maka istri menjalani tes HIV dan PIMS sebagai bagian dari upaya pencegahan penyakit dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, terutama pada persalinan dan menyusui dengan ASI.

Celakanya, di Indonesia yang dilakukan adalah tes HIV dan sifilis terhadap ibu hamil, sedangkan suami mereka lolos dari tes sehingga jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS atau PIMS di masyarakat, teruama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Indonesia sendiri sesumbar bebas HIV/AIDS pada tahun 2030, tapi tanpa program yang realistis di hulu. Kegiatan pencegahan hanya sebatas orasi moral yang justru menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Sementara itu di Konferensi AIDS 2024 di Jerman,  UNAIDS, badan PBB yang menangani HIV/AIDS dengan terus-terang mengatakan tidak bisa mencapai bebas HIV/AIDS pada tahun 2030 (dari berbagai sumber). <>

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun