"Soal Wacana Sekolah Swasta Gratis di DKI, Disdik: Ada Harapan Direalisasikan." Ini judul berita di kompas.com, 19/7/2024.
Pendidikan dasar, SD dan SMP serta yang sederajat yaitu Madrasah dan Tsnawiyah, sesuai dengan amat UUD 1945 Pasal 31 disebutkan:
Ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Ayat 2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Baca juga: Pendidikan Dasar yang Gratis adalah Hak Anak yang Merupakan Amanah UUD 1945
Dengan frasa 'ada harapan direalisasikan' terkait dengan pendidikan dasar yang gratis menunjukkan Pemprov DKI Jakarta mengabaikan amanat UUD 1945.
Ketika sistem pemerintahan tidak lagi sentralistik sejak otonomi daerah (Otda), maka tanggung jawab pendidikan dasar yang gratis ada di pundak pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota.
Kecuali Jakarta yang merupakan daerah khusus karena kotamadya yang ada di Jakarta hanya sebagai kota administratif bukan kota otonom (tidak mempunyai dewan perwakilan rakyat daerah/DPRD dan wali kota tidak dipilih oleh warga).
Ketika pemerintah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota, tidak menyediakan sekolah negeri untuk pendidikan dasar bagi semua anak yang berhak, maka wajib bagi pemerintah kabupaten dan kota membiayai siswa dan siswi yang belajar di sekolah swasta.
Dari aspek hukum amanat Pasal 31 UUD 1945 tidak membedakan status orang tua pelajar pada tingkat pendidikan dasar. Maka, pernyataan dalam berita: "Jika kebijakan itu (sekolah swasta gratis-pen.) direalisasikan, anak-anak dari keluarga kurang mampu di Jakarta bisa bersekolah secara gratis menggunakan KJP di sekolah swasta yang bekerja sama dengan Pemprov DKI" bertentangan dengan amanat UUD 1945 karena pendidikan dasar gratis tidak membedakan status orang tua.
Yang bisa dilakukan pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta serta pemerintah kabupaten dan kota, hanyalah sebatas imbauan secara moral bagi orang tua yang mampu untuk mengikhlaskan hak pendidikan dasar gratis anaknya di sekolah swasta diberikan kepada anak-anak dari keluarga yang tidak mampu.
Langkah Pemprov DKI Jakarta sejatinya diikuti oleh pemerintah kabupaten dan kota di Tanah Air karena merupakan amanat UUD 1945 tanpa ada pengecualian.
Jika ada anak-anak di tingkat pendidikan dasar yang tidak belajar di sekolah formal hal itu menunjukkan pemerintah kabupaten dan kota mengabaikan amanat UUD 1945. Ini merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Berdasarkan data Susenas yang diolah Bappenas tahun 2022, anak usia sekolah 7-18 tahun (pendidikan dasar SD dan SMP atau sederajat-pen.) yang tidak bersekolah mencapai 4.087.288. Angka tersebut dinilai meningkat jika dibandingkan dengan 3.939.869 anak pada tahun 2021 (dpr.go.id, 2/11/2023).
Adalah langkah yang tidak bijaksana, bahkan bisa disebut malawan hukum, jika menyalahkan orang tua karena pendidikan dasar merupakan kewajiban negara (baca: pemerintah) untuk menyediakan sarananya secara gratis.
Itu artinya ketika ada anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak mengenyam bangku sekolah SD dan SMP atau sederajat kesalahan ada pada pemerintah.
Maka, sudah saatnya pemerintah menghitung dana untuk pendidikan dasar di setiap daerah, dalam hal ini kabupaten dan kota, secara rinci ketika merancang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) agar tidak ada lagi anak-anak usia pendidikan dasar, SD dan SMP atau yang sederajat, yang tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah formal. <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H