Sejatinya, sebelum pemerintah menerbitkan regulasi tentang 'impor' dokter asing terlebih dahulu meneliti apa alasan riil  warga negara Indonesia (WNI) berobat ke luar negeri.
Soalnya, seperti diberitakan kompas.com (24/4/2024): Presiden Joko Widodo mengatakan, negara kehilangan devisa sebesar 11,5 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 180 triliun karena banyak warga negara Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri.
Diperkirakan setiap tahun 1 juta warga berobat ke luar negeri yaitu ke Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Singapura, bebeapa negara Eropa serta ke Amerika Serikat (AS).
Alasan dikemukakan Presiden Jokowi yang membuat WNI berobat ke luar negeri agak naif yaitu karena 90 persen obat-obatan 'berasa impor' dan 52 persen peralatan medis di sarana kesehatan dalam negeri 'berbau impor' pula.
Untuk apa ke luar negeri kalau hanya karena untuk mendapatkan obat karena obat-obatan tersebut bisa dibeli di Tanah Air. Begitu juga dengan peralatan medis buataan luar negeri juga dipakai di Indonesia.
Alasan itu hanya sebatas perkiraan atau dugaan yang tidak dilandasi dengan bukti berupa hasil penelitian yang menyasar WNI yang berobat ke luar negeri.
Malaysia, misalnya, dokter di sana tidak sedikit yang lulusan fakultas kedokteran di Indonesia, bahkan fakultas kedokteran swasta. Itu artinya kompetensi dokter di Malaysia setara dengan dokter di Indonesia karena mereka lulusan fakultas kedokteran yang sama. Bisa saja dokter-dokter di Malaysia itu menambah pengetahuan dengan belajar ke luar negeri, tapi hal itu juta dilakukan dokter-dokter di Indonesia.
Baca juga: Pemerintahan SBY: RS Meningkat 600 Persen, Jumlah Penduduk yang Sakit Juga Meroket (7/8/2014)
Ada kisah tentang orang kaya di sebuah kota di Indonesia yang menolak dioperasi di rumah sakit di kota itu. Pasien itu minta dioperasi di rumah sakit di Jepang. Eh, yang akan mengoperasi justru dokter asli Indonesia. Giliran dokter itu yang meminta agar pasien WNI itu dioperasi di Indonesia saja. Dokter ahli ginjal Indonesia juga ada yang praktek ke luar negeri yang bisa saja menangani pasen WNI.
Standar Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) rasio doker adalah 1:1.000, sedangkan di Indonesia rasionya adalah 1:1.528 (databoks.katadata.co.id, 25/4/2024). Ini menunjukkan kekurangan dokter di Indonesia.
Tapi, perlu juga diperhitungkan perbandingan ini terjadi karena populasi dokter numpuk di Pulau Jawa sehingga rasio dokter dan penduduk di luar Jawa bisa lebih besar yang membuat layanan kesehatan terganggu.
Bisa saja hal itu jadi alasan untuk membuka pintu atau keran 'impor dokter asing,' maka persaingan antar rumah sakitpun kian sengit karena setengah orang di Indonesia mempunyai persepsi 'luar negeri minded' yaitu selalu menganggap luar negeri, terutama Eropa dan AS, jauh lebih baik daripada dalam negeri.
Maka, bisa saja terjadi rumah sakit dengan modal besar akan mampu membayar dokter asing yang jadi ikon sebagai penarik bagi warga yang mempunyai pola pikir 'luar negeri minded.'
Baca juga: Kesehatan di Indonesia Ditanggulangi Hanya dengan Bangun Rumah Sakit (24/7/2023)
Maka, turunan UU Kesehatan dalam bentuk peraturan pemerintan (PP) dan turunan selanjutnya perlu ada penekanan khusus bahwa dokter yang diizinkan diimpor adalah dokter dengan keahlian yang diperlukan yang tidak tersedia di rumah sakit tersebut.
Yang dikhawatirkan rumah sakit akan mengimpor dokter atau tenaga medis asing dari Eropa dan AS yang justru tidak mempunyai keahlian khusus sehingga jadi daya tarik bagi setengah orang yang membalut dirinya dengan 'luar negeri minded.'
Apalagi dokter asing itu itu 'cewek bule' tentulah jauh lebih menarik bagi sebagian orang. Apalagi mereka sudah terlatih berbicara dengan cara-cara yang elegan dengan mimik dan penampilan yang aduhai.
Itu artinya izin impor dokter asing harus berdasarkan penelitian yang jujur dan transparan oleh regulator agar benar-benar mengisi kekosongan tenaga medis bukan semata-mata untuk menarik pasien terhadap warga dengan pola pikir 'luar negeri minded' (dari berbagai sumber). <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H