"Fakta bahwa AIDS masih jauh dari pemberantasan juga disebabkan oleh stigmatisasi yang masih berlangsung." Ini pernyataan Badan PBB yang menangani HIV/AIDS yaitu UNAIDS di Konferensi AIDS Sedunia Ke-25 di Mnchen, Jerman, 22-26 Juli 2024, seperti dilaporkan DW dengan judul berita “Konferensi AIDS PBB: AIDS Belum Bisa Diberantas Tahun 2030.”
Disebutkan pada tahun 2030 mendatang dunia masih jauh dari upaya untuk menghentikan infeksi HIV baru. Celakanya, pemerintah Indonesia dan beberapa pemerintah daerah justru sesumbar akan menghentikan infeksi HIV baru di tahun 2030.
Baca juga: Hari AIDS Sedunia 2019: Bualan, Indonesia Bebas Infeksi HIV Baru Tahun 2030
Pernyataan UNAIDS ini tidak sepenuhnya akurat karena stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS (Odha - People living with HIV/AIDS/PLWHA) terjadi setelah yang tertular HIV/AIDS terdeteksi melalui tes HIV yang baku.
Penanggulangan HIV/AIDS sangat diperlukan karena data UNAIDS menunjukkan setiap menit satu warga dunia meninggal karena penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS.
Jumlah kasus HIV/AIDS secara global tahun 2023 dilaporkan 39,9 juta dengan 630.000 kematian. Sementara itu sejak awal epidemi (1981) sudah 88,4 juta (perkiraan antara 71,3--112,8 juta) warga dunia terinfeksi HIV dan sekitar 42,3 juta (perkiraan antara 35,7--51,1 juta) di antaranya meninggal karena penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS.
Sedangkan infeksi HIV baru secara global pada tahun 1995 sebanyak 3,3 juta (terbanyak sejak epidemi tahun 1981), sedangkan di tahun 2022 infeksi baru dilaporkan 1,4 juta dan tahun 2023 turun jadi 1,3 juta.
UNAIDS semula memperkirakan di tahun 2030 akan tercapai nol infeksi HIV baru, tapi pada konferensi di Munich ini badan PBB itu justru mengatakan hal itu tidak akan tercapai. Ini terjadi karena penanggulangan hanya dilakukan di hilir.
Hanya saja alasan yang dikemukakan UNAIDS sebagai penyebab kegagalan rencana global untuk mencapai nol infeksi HIV baru di tahun 2030 karena stigma dan diskriminasi tidak akurat.
Soalnya, stigma dan diskriminasi terjadi di hilir pada epidemi HIV/AIDS yaitu terhadap orang-orang yang terdeteksi HIV karena identitasnya mereka bocor atau dibocorkan ke publik.
Disebutkan juga oleh UNAIDS bahwa "Stigmatisasi dan diskriminasi khususnya menghalangi mereka yang terkena dampak untuk menerima pengobatan." Ini juga tidak tepat karena orang-orang yang terdeteksi HIV-positif melalui tes HIV yang baku, seperti VCT (voluntary counseling test yaitu tes HIV secara sukarela dengan konseling) di sarana kesehatan pemerintah otomatis menerima pengobatan dengan obat antiretroviral (ART -- antiretroviral therapy).
Lagi pula infeksi HIV baru tidak hanya ditularkan oleh orang-orang yang HIV-positif yang tidak menerima ART, tapi justru terjadi pada orang-orang yang belum tertular yaitu melalui perilaku seksual berisiko.
Seperti di Indonesia sejak reformasi di tahun 1988 semua lokalisasi pelacuran ditutup sehingga tidak bisa dilakukan penjangkauan untuk menerapkan seks aman yaitu memaksa laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Praktek pelacuran yang semula dilokalisir di lokalisasi pelacuran dan di jalanan sekarang justru pindah ke media sosial. Ini membuat penjangkauan jadi mustahil karena transaksi dan eksekusi hubungan seksual terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.
Baca juga: Pelacuran dari Lokalisasi dan Jalanan Pindah ke Media Sosial
Cewek yang sebelumnya dikenal sebagai PSK langsung (yang praktek di lokalisasi) dan PSK tidak langsung (yang praktek melalui kegiatan hiburan malam dan pijat plus) kini jadi cewek prostitusi online yang dijangkau dengan telepon seluler (Ponsel) secara Daring (dalam jaringan).
Disebutkan oleh UNAIDS, meskipun ada kemajuan besar dalam memerangi HIV/AIDS, tapi sekitar seperempat dari semua orang dengan HIV di seluruh dunia tidak memiliki akses terhadap pengobatan yang bisa menyelamatkan nyawa.
Ini tantangan besar bagi dunia yaitu menjalankan program penanggulangan di hulu yaitu mencegah agar tidak semakin banyak orang, terutama laki-laki dewasa, yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK dan cewek prostitusi online.
Selama penanggulangan epidemi HIV/AIDS hanya dilakukan di hilir, seperti tes HIV yang dilanjutkan dengan program ART, maka dunia tidak akan pernah mencapai nol infeksi HIV baru.
Apalagi jika materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang cara-cara penularan HIV/AIDS dan mencegah penularan HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama yang akan sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS
Sudah saatnya dunia meninggalkan cara-cara penyampaian KIE tentang HIV/AIDS dengan balutan norma, moral dan agama karena HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis yang menghindari perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Sejatinya, sejak WHO mengetahui cara-cara penularan HIV/AIDS sudah ada 'vaksin' yaitu tidak melakukan perilaku-perilaku seksual dan nonseksual yang bisa jadi media penularan HIV/AIDS.
Tapi, karena sejak awal epidemi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama maka yang sampai ke masyarakat hanya mitos yang justru jadi pintu masuk HIV/AIDS. <>
*Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H