Maka, mustahil Cianjur bisa 'zero kasus HIV baru dan zero pengidap HIV/AIDS yang tidak terobati' karena Pemkab Cianjur, dalam hal ini Dinkes Cianjur, tidak mempunyai mekanisme yang realistis untuk mencari warga Cianjur yang mengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi tanpa melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Ada pernyataan: ".... Dinkes Cianjur bakal lebih gencar untuk melakukan penelusuran warga yang terkena HIV/AIDS."
Yang lazim disebut bukan penelusuran, tapi pelacakan. Ini bisa kontra produktif terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS jika cara-cara yang dilakukan melawan hukum dan melanggar HAM.
Sayang, dalam berita tida ada penjelasan bagaiman cara Dinkes Cianjur melakukan penelusuran untuk menemukan warga yang mengidap HIV/AIDS yang belum terdata.
Disebutkan pula: " .... Adapun yang sudah diketahui pun tidak mau melapor, karena menganggapnya aib. Sehingga tidak terobati secara teratur."
Pernyataan itu jelas ngawur karena orang-orang yang terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV, baik VCT (tes dengan sukarela) atau karena rujukan dokter, di fasilitas kesehatan pemerintah, seperti Puskesmas dan RSUD, jelas sudah terdata. Mereka menjalani konseling sebelum dan sesudah tes HIV, antara lain anjuran untuk menjalani ART jika terdeteksi positif dan menghentikan penularan HIV/AIDS ke orang lain.
Ini juga ada dalam berita: ".... Kita juga edukasi pada mereka untuk meninggalkan pergaulannya, kita pahami juga kalau mereka ini tertekan masalah ekonomi, dan akhirnya mencari jalan pintas dan akhirnya terbawa ke pergaulan bebas."
Agaknya, ini ditujukan kepada pekerja seks, baik pekerja seks langsung maupun pekerja seks prostitusi online. Tapi, mengapa harus menyebut 'pergaulan bebas'?
Selain itu yang jadi persolan bukan pekerja seks, tapi laki-laki dewasa, terutama yang mempunyai istri yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks.
Suami-suami yang tertular akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Jika istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan HIV/AIDS secara horizontal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Studi Kemenkes mencatat hingga akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK), sehingga pria menjadi kelompok paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (bali.antaranews.com, 9/4/2013). Yang bikin miris 4,9 juta di antaranya mempunyai istri.