Misalnya, materi KIE tentang HIV/AIDS selalu mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks pranikah, seks di luar nikah, zina, pelacuran, perselingkuhan dan homseksual.
Padahal, secara empiris penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual (seks pranikah, seks di luar nikah, zina, pelacuran, perselingkuhan dan homseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta.
Dikatakan oleh Erika [dosen di Fakultas Keperawatan dan Kebidanan, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) yakni Erika Martining Wardani], salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini (HIV/AIDS, pen.) dengan meningkatkkan pengetahuan yang dapat dilakukan dengan memberikan edukasi melalui media.
Yang jadi persoalan besar adalah sebagian besar media, dalam hal ini media massa dan media online, justru menyampaikan informasi tentang HIV/AIDS yang mengandung mitos.
Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"
Akibatnya, masyarakat dibelenggu mitos yang membawa mereka, terutama laki-laki dewasa, melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Selama informasi tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama, maka selama itu pula informasi HIV/AIDS hanya sebatas mitos yang menjerumuskan banyak orang ke perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Orang-orang, terutama laki-laki dewasa, yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS.
Akibatnya, mereka menularkan HIV/AIDS ke orang lain tanpa mereka sadari. Jika yang tertular seorang suami, maka ada risiko yang bersangkutan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Bisa juga ke pacar atau selingkuhan.
Jika istri tertular HIV/AIDS, maka ada pula risiko penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.