Laporan yang ditulis Peter Schuchardt di Deutsche Welle* (13/10/2023) menyebutkan: Para peneliti otak membuktikan bahwa menconteng atau memberi tanda "like" dan tulis komentar di Facebook, Instagram atau Tik Tok menstimulasi pusat kebahagiaan di otak. Kondisinya mirip seperti habis makan makanan enak, melakukan hubungan seksual atau memakai Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian banyak yang terjerat dan terperangkap dikungkung media sosial (Medsos) yang berdampak buruk terhadap kehidupan pribadi, sosial, ekonomi dan kesehatan.
Konsultan masalah kecanduan, Lydia Rmer, mengenal banyak remaja yang super aktif di media sosial, yang berdampak membahayakan kesehatan mereka.
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada pusat rehabitasi kecanduan Internet, seperti di Thailand dan China. Ini ironis karena selama ini yang dikenal adalah pusat rehabilitasi kecanduan Narkoba.
Tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan terjadi di Indonesia karena dalam State of Mobile 2024 yang dirilis oleh Data.AI ternyata warga Indonesia menjadi pengguna Internet yang paling lama menghabiskan waktu dengan perangkat mobile seperti Ponsel dan tablet pada 2023, yaitu 6 jam 5 menit setiap hari.
Baca juga: Ironis Warga Indonesia Kecanduan Ponsel Paling Top di Dunia tapi Literasi Pelajar Nomor 5 dari Bawah
Tapi, ironis karena tingkat literasi pelajar di Indonesia justru nomor lima dari bawah pada 79 negara yang disurvei oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development - Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) yang mengukur kemampuan anak berumur 15 tahun di bidang membaca, matematika dan pengatahuan ilmiah menempatkan Indonesia di urutan ke-74 dari 79 negara yang ikut dalam penilaian yang dilakukan OECD (DW, 20/2/2024).
Agaknya, ber-Medsos di negeri ini bukan untuk meningkatkan literasi, tapi untuk memuaskan otak dengan kegembiraan semu yang pada akhirnya bermuara pada kecanduan Medsos.
Tak pelak lagi muncullah ketergantungan terhadap Medso yang akhirnya merupakan candu baru bagi penggemar Internet. Tentu saja ketergantungan karena candu sangat sulit dihentikan tanpa bantuan ahli melalui rehabilitasi medis dan psikologis.
Baca juga: Candu Baru Itu Bernama Media Sosial
Dalam pemaparannya Lydia Rmer, seperti ditulis DW, mengungkap, banyak orang yang punya pikiran, ia harus memposting semua hal, dan harus selalu up-to-date. Selain itu, ia juga merasa harus mendapat informasi tentang semua hal. Namun, karena "langganan" banyak kanal media sosial, sebagai dampaknya, mungkin menelantarkan lingkungan sosial nyata, dan yang lebih parah lagi, sudah berada dalam situasi stres permanen.
Baca juga: FOMO Adalah "Penyakit" Baru Pecandu Media Sosial
Sebelumnya, kalangan ahli sudah memperkenalkan FOMO (Fear Od Missing Out) yaitu takut ketinggalan infomasi. Celakanya, informasi di Medsos dikuasai haoks yaitu informasi atay kabar palsu.
Ingat, tidak ada bertita palsu atau berita bohong karena berita yang dikemas dengan pijakan asas jurnalistik tidak akan menerbitkan berita yang tidak benar.
Baca juga: Bukan "Berita Bohong" tapi "Informasi Bohong atau Palsu" dan Sekali Lagi, Bukan Berita Bohong tapi Informasi Bohong atau Informasi Palsu
Celakanya, banyak yang justru mencari-cari hoaks, seperti kalangan 'the hater's sehingga mereka tidak akan membacara berita jurnalistik di media mainstream (media massa arus utama yang menyiarkan berita dengan pijakan asas jusnalistik).
Baca juga: Hoax Memang Dicari-cari
Ketergantungan terhadap Medsos terus memakan korban sehingga muncullah istilah NOMOPHOBIA (NO MObile PHone PhoBIA). Instilah ini menunjukkan suatu kondisi psikologis ketika orang memiliki rasa takut terlepas dari konektivitas telepon seluler. Â
Baca juga: Â Fenomena "Generasi Nunduk", Apakah Kita Akan Berhenti Saling Menyapa?
Kecanduan terhadap Internet, khusunya Medsos, bisa jadi pandemi (KBBI: wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas) yang merusak masa depan generasi muda.
Sudah saatnya pemerintah memperhatikan kecanduan terhadap Internet, khusnya Medsos, agar 'Generasi Emas' yang dibangga-banggakan pemerintah akant terjadi di tahun 2045 justru jadi, maaf, generasi lemas atau generasi yang menc-emas-kan. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H