Dalam pemaparannya Lydia Rmer, seperti ditulis DW, mengungkap, banyak orang yang punya pikiran, ia harus memposting semua hal, dan harus selalu up-to-date. Selain itu, ia juga merasa harus mendapat informasi tentang semua hal. Namun, karena "langganan" banyak kanal media sosial, sebagai dampaknya, mungkin menelantarkan lingkungan sosial nyata, dan yang lebih parah lagi, sudah berada dalam situasi stres permanen.
Baca juga: FOMO Adalah "Penyakit" Baru Pecandu Media Sosial
Sebelumnya, kalangan ahli sudah memperkenalkan FOMO (Fear Od Missing Out) yaitu takut ketinggalan infomasi. Celakanya, informasi di Medsos dikuasai haoks yaitu informasi atay kabar palsu.
Ingat, tidak ada bertita palsu atau berita bohong karena berita yang dikemas dengan pijakan asas jurnalistik tidak akan menerbitkan berita yang tidak benar.
Baca juga: Bukan "Berita Bohong" tapi "Informasi Bohong atau Palsu" dan Sekali Lagi, Bukan Berita Bohong tapi Informasi Bohong atau Informasi Palsu
Celakanya, banyak yang justru mencari-cari hoaks, seperti kalangan 'the hater's sehingga mereka tidak akan membacara berita jurnalistik di media mainstream (media massa arus utama yang menyiarkan berita dengan pijakan asas jusnalistik).
Baca juga: Hoax Memang Dicari-cari
Ketergantungan terhadap Medsos terus memakan korban sehingga muncullah istilah NOMOPHOBIA (NO MObile PHone PhoBIA). Instilah ini menunjukkan suatu kondisi psikologis ketika orang memiliki rasa takut terlepas dari konektivitas telepon seluler. Â
Baca juga: Â Fenomena "Generasi Nunduk", Apakah Kita Akan Berhenti Saling Menyapa?
Kecanduan terhadap Internet, khusunya Medsos, bisa jadi pandemi (KBBI: wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas) yang merusak masa depan generasi muda.
Sudah saatnya pemerintah memperhatikan kecanduan terhadap Internet, khusnya Medsos, agar 'Generasi Emas' yang dibangga-banggakan pemerintah akant terjadi di tahun 2045 justru jadi, maaf, generasi lemas atau generasi yang menc-emas-kan. *