Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Infantofilia Beraksi Lagi Kali Ini di Kota Pematangsiantar Memerkosa Gadis Cilik Umur 5 Tahun

23 Mei 2024   07:30 Diperbarui: 23 Mei 2024   07:33 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: timesofindia.indiatimes.com)

Sejantinya, motif kejahatan seksual, dalam hal ini pemerkosaan, yang dilakukan oleh seorang terduga laki-laki dewasa, P, terhadap seorang gadis cilik berumur 5 tahun di Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), merupakan deviasi seksual yaitu parafilia (orang-orang yang menyulurkan dorongan hasrat seksual dengan cara-cara yang lain) dalam hal ini disebut infantofilia.

Infantofilia merupakan kejahatan seksual yang dilakukan laki-laki yaitu menyalurkan dorongan hasrat seksual dengan melakukan hubungan seksual secara paksa (seks oral, seks vaginal atau seks anal) terhadap bayi umur 0 tahun sampai anak-anak umur 7 tahun.

Sebelum kejadian di Kota Pematangsiantar (Mei 2024) sudah ada beberapa kajadian serupa, tapi sejauh ini tidak ada pasal-pasal di berbagai UU yang bisa menjerat seorang infantofilia secara khusus. Yang dipakai hanya pasal-pasal kejahatan biasa, seperti diatur di KUHP dan UU lain.

Baca juga: Kekerasan Seksual oleh Infantophilia terhadap Bayi dan Anak Perempuan Tidak Hanya Sebatas Pencabulan

Kasus infantofilia sudah terjadi di Kota Dumai, Riau, oleh M, 78 tahun, seorang kakek yang setap hari hidup dari mengemis, mencabuli seorang bocah perempuan, B, 4 tahun. Kasus ini ditangani polisi setempat (merdeka.com, 21/12-2015).

Jumlah kasus kekerasan seksual yang dilakukan infantofilia di Indonesia diperkirakan erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang ditangani polisi hanya yang dilaporkan yaitu digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak dilaporkan ke polisi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.

Fenmenan Gunung Es (Sumber gambar: fruitylogic.com)
Fenmenan Gunung Es (Sumber gambar: fruitylogic.com)

Misalnya, yang dilakukan oleh sebuah rumah sakit swata besar di Jakarta ini yang memilih tidak melaporkan kasus yang menimpa seorang anak laki-laki umur 4 tahun dengan indikasi penyakit yaitu infeksi pada anus. Anak ini diasuh oleh pamannya, yang menurut orang tua korban, "Sangat baik kepada anak-anak." Itulah sebabnya orang tua korban mau menyerahkan anak mereka kepada laki-laki yang mereka sebut sebagai paman si anak (2014).

Tapi, berbeda dengan sebuah rumah sakit kecil di Jakarta Timur yang justru melaporkan kecurigaan petugas medis tentang kondisi seorang bayi perempuan berumur 9 bulan dengan indikasi infeksi di vagina. Benar saja penyidikan polisi menyeret paman si bayi ke bui karena memerkosa keponakannya itu secara vaginal dan anal (2013).

Catatan penulis terkait dengan kasus infantofilia yang ditangani polisi pada tahun 2013-2015. Usia korban paling rendah adalah 9 bulan (Jakarta Timur) yang diperkosa oleh pamannya, seorang sopir, berumur 39 tahun. Sedangkan yang paling tinggi kelas 1 SD kira-kira 6 atau 7 tahun di Kab Tasikmalaya, Jawa Barat (2013) dan di Bantul, DI Yogyakarta (2014).

Tampaknya, masyarakat lebih tertarik dengan kasus-kasus sodomi karena dikait-kaitkan dengan gay. Padalah, tidak ada kaitan langsung antara sodomi dengan gay.

Sodomi adalah kekerasan seksual secara seks anal yang dilakukan oleh laki-laki dewasa kepada laki-laki dan perempuan. Maka, seorang pelaku sodomi tidak otomatis seorang gay atau paedofilia.

Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan seks "tidak alami", yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan (id.wikipedia.org).

Gay adalah laki-laki homoseksual (secara seksual tertarik dengan laki-laki atau sejenis) yang melakukan hubungan seksual secara anal tanpa paksaan karena bisa mereka lakukan dalam bentu, percintaan dan perkawinan.

Sedangkan, paedofilia adalah laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual (seks oral, vaginal atau anal) kepada anak-anak laki-laki dan perempuan yang berumur antara 7-12 tahun tanpa kekerasan dan tanpa paksaan. Biasanya disamarkan dalam bentuk orang tua asuh, anak angkat, anak asuh bahkan dalam perkawinan (anak).

Maka, kasus di Kota Pematangsiantar sejatinya merupakan kejahatan seksual digolongkan sebagai extraordinary crime yaitu kejahatan yang melawan hukum berupa pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Celakanya, di Indonesia perempuan yang jadi korban pelecehan seksual dan kekerasan seksual selalu disalahkan oleh setengah orang, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri, dengan mengatakan pakaian korban mengundang nafsu dan seterusnya.

Bahkan, ada dua menteri perempuan yang menyalahkan keluarga seorang gadis berumur 14 tahun yang tewas karena diperkosa di Bengkulu dan membeli 14 begundal yang melakukan perkosaan.

Baca juga: Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: "Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu Menteri" dan Sebagian Media Melakukan "The Second Rape and Murder" terhadap Y di Bengkulu

Berita kriminalitas di media massa (koran, majalah, TV dan radio) serta media online (portal berita) ternyata tidak membuat jera, bahkan muncul kasus-kasus baru yang jurtru merupakan replikasi atau pengulangan dari kejahatan yang diberitakan media.

Baca juga: Berita Kejahatan Ternyata Tidak Bikin Jera yang Terjadi Justru Sebaliknya yaitu Replikasi

Selain itu berita kriminal juga sering jadi 'the second rape' yaitu berita yang memaparkan secara runut kejadian yang dialami seorang perempuan korban perkosaan.

Baca juga: Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan

Pelaku kejahatan, terutama kejahatan sesual sering di atas angin karena 'dibela' oleh segelintir orang yang sok moralis dengan menyalahkan korban. Celakanya, wartawan dan polisi justru memberi panggung bela diri bagi pelaku kejahatan.

Baca juga: Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual

Selama sebagian warga Indonesia tatap menyalahkan korban kejahatan seksual, maka selama itu pula perempuan Indonesia akan jadi korban kekerasan seksual.

Kondisinya kian runyam karena banyak kalangan yang tidak objektif dalam melihat kasus-kasus kekerasan dan kejahatan seksual yang menimpa perempuan di Indonesia. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun