Selama ini razia kendaraan bermotor (Ranmor) hanya memeriksa surat-surat kelengkapan Ranmor yaitu STNK (surat tanda nomor kendaraan), izin trayek dan tanda lolos kir (kendaraan umum) dan tentu saja SIM (surat izin mengemudi). Ini bisa disebut primitif (KBBI: sederhana) karena tidak menyeluruh terkait dengan keamanan perjalanan Ranmor tersebut.
Itu merupakan paradigma (kerangka berpikir) konvensional yang dilakukan instansi terkait dengan Ranmor (kepolisian) dan jalan raya (LLAJR-Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya).
Korban tewas karena kecelakaan lalu lintas (Lakalantas) di Indonesia pada tahun 2022, misalnya, dengan 139.258 Lakalantas mengakibatkan 28.131 tewas, 13.364 luka berat dan 160.449 luka ringan (bps.go.id).
Secara empiris selengkap apapun surat-surat Ranmor dan pengemudi pegang SIM semua kelas, tapi kalau kondisi Ranmor tidak memenuhi standar layak jalan tentulah akan jadi faktor yang mendorong akan terjadi Lakalantas.
Selain itu perlu juga melakukan tes alkohol dan Narkoba yaitu dengan alat dan bisa juga melalui cara berjalan yang bisa menunjukkan tingkat konsumsi alkohol.
Di Amerika Serikat (AS) pengemudi Ranmor yang menimum alkohol lewat batas akan didakwa dengan pasal pembunuhan berencana jika terjadi Lalalantas yang menyebabkan kematian.
Kondisi Ranmor yang tidak lain jalan sudah sering terjadi, seperti yang terjadi  di wilayah Ciater, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat (Jabar), pada 11/5/2024 yang melibatkan sebuah bus pariwisata membawa rombongan siswa SMK di Depok, Jabar, yang piknik perpisahan sekolah dengan korban 11 tewas dan puluhan luka-luka. Dikbarkan kir bus itu sudah lewat lima bulan.
Celakanya, polisi sering 'membela' kecelakaan. Misalnya, menyebutkan sopir baru pertama kali melewati jalan tersebut. Ini sangatlah naif (KBBI: tidak masuk akal) karena kalau hal itu benar tentulah semua Ranmor yang baru pertama kali lewat di satu tempat akan celakanya juga akhirnya.
Faktanya? Tidak!
Maka, Lakalantas terjadi karena akumulasi dari kelalaian manusia (human error) dan kondisi Ranmor, antara lain dengan kondisi yang tidak laik jalan.
Beberapa kali naik bus di jalan tol, sopir dan kernet ngobrol dengan kondisi kaki kiri sopir naik ke kap mesin (mesin bus di depan), tempat duduk direbahkan dan tangan kanan memegang rokok. Kalau sekarang memegang Ponsel.
Kalau saja polisi dan LLAJR tidak hanya memeriksa kelengkapan surat-surat kendaraan dan SIM tentulah bisa ditemukan kondisi Ranmor. Misalnya, kondisi ban, tekanan angin ban, kondisi rem, klakson, lampu sein, lampu dekat dan lampu jauh serta kotak P3K.
Tapi, karena surat-surat lengkap dan pengemudi punya SIM yang masih berlaku, maka Ranmor terus melanjutkan perjalanan. Padahal, ada dengan kondisi yang tidak laik jalan.
Selain itu tidak sedikit bus AKAP (antar kota antar provinsi) dan AKDP (antar kota dalam provinsi) dengan kondisi speedometer (alat yang menunjukkan kecepatan Ranmor) mati atau dimatikan. Padahal, alat ini bisa jadi diatur jadi alarm dengan mengeluarkan bunyi atau tanda lampu merah pada kecepatan tertentu.
Kalau saja ada aturan baku yang mengharuskan semua bus dan truk memasang alarm berdasarkan kecepatan tentulah jadi salah satu faktor yang bisa menghindari atau mencegah Lakalantas.
Soalnya, dalam beberapa kasus Lakalantas terjadi karena kecepatan tinggi, terutama di jalan tol, karena pengguna tol tidak memahami filosofi jalan tol sehingga mereka menjadikan jalan tol sebagai pilihan untuk memacu kendaraan.
Sopir juga selalu menyalahkan (kondisi) Ranmor jika terjadi kecelakaan. Seperti yang terjadi di Subang disebutkan karena rem tidak berfungsi.
Pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah rem tiba-tiba tidak berfungsi atau sudah ada tanda-tanda sebelumnya?
Sejatinya sopir yang amanah akan selalu mencoba rem ketika hendak melewati jalan menurun dan menurunkan persneling (tranmisi) dari kecepatan tinggi ke kecepatan rendah sehingga ada alternatif untuk menghentikan kendaraan.
Tapi, ini jarang dilakukan sopir sehingga Ranmor tidak bisa dikendalikan ketika mesin mati atau rem blong pada kecepatan tinggi.
Bus pariwisata Trans Putera Fajar dengan nomor polis AD (Boyolali, Klaten, Wonogiri, Sukoharjo, Surakarta, Karanganyar, dan Sragen) bisa saja dicegah tidak celaka jika ada pemeriksaan Ranmor (bukan razia primitif yang hanya cek surat dan SIM), tapi memeriksa kelaikan jalan bus tersebut sebelum meninggalkan pos pemeriksaan jelang jalan turun. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H