Pemberitaan juga lebih mengarah kepada kondisi (psikologis) pelaku daripada mengulas perilaku kriminal pelaku yang terjadi di ranah publik sebagai faktor yang mendorong kejahatan.
Pengungkapan motif yang dilakukan polisi melalui keterangan pers kepada wartawan atau melalui talkshow dengan stasiun TV tanpa disadari akan dijadikan replikasi. Misalnya, polisi menyebut kejadian karena pelaku sakit hati dimarahi majikan, maka bisa saja hal itu terjadi lagi. "O, kalau sakit hati karena dimarahi majikan ya ..... "
Celakanya, di saat kejahatan meningkat pada saat yang sama kepedulian sosial justru turun drastis. Kian banyak yang terasing secara sosial di social settings karena mereka hanya mengandalkan pertemanan di dunia maya (baca: media sosial).
Korban kejahatan, terutama korban kejahatan seksual, berada di posisi yang terabaikan karena mereka berada pada posisi powerless (tak berdaya) dan voiceless (dibungkam).
Celakanya, polisi dan media justru memberikan panggung kepada pelaku kejahatan untuk membela diri. Padahal, hal itu sejatinya di sidang pengadilan.
Baca juga: Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual
Kasus perkosaan terhadap gadis cilik berumur 14 tahun di Bengkulu, misalnya, justru 'dikriminalisasi' sedangkan pelaku 'dibela' oleh pejabat negara dan wartawan pun melakukan hal yang sama.
Baca juga: Sebagian Media Melakukan "The Second Rape and Murder" terhadap Y di Bengkulu
Agaknya, sudah saatnya polisi dan wartawan (baca: media) lebih berhati-hati dalam memberikan keterangan dan menulis berita tentang kriminalitas, terutama kejahatan seksual.