"Ini (awal kasus terungkap) yang masih didalami ya. Laporan seperti itu, pencabulan terhadap anak." Ini keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi (kompas.com, 20/3/2024) terkait dengan laporan seorang perempuan, PA.
PA adalah ibu kandung seorang anak perempuan berumur 5 tahun yang jadi korban kekerasan seksual. PA melaporkan kekerasan seksual dilakukan oleh ayah anak tersebut di Jakarta Timur.
Jika terbukti, maka ini kasus kedua kekerasan seksual terhadap anak-anak di bawah 5 tahun yang pelakunya dikenal sebagai infantophilia (salah satu bentuk paraphilia yaitu orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang lain) di wilayah Jakarta Timur.
Baca juga: Infantofilia Adalah Kekerasan Seksual Terhadap Bayi dan Anak-anak
Dalam hal ini infantophilia adalah laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan atau hasrat seksualnya kepada bayi perempuan umum 0-5 tahun.
Melihat keterangan Kombes Ade yang menyebut kejadian itu sebagai 'pencabulan terhadap anak' menunjukkan tidak ada klassifikasi kekerasan seksual yang diatur di UU.
Padahal, kekerasan seksual, dalam hal ini hubungan seksual dengan bayi dan anak-anak berumur 0-5 tahun tidak hanya sebatas pencabulan karena menyangkut nyawa. Kasus kekerasan seksual terhadap seorang bayi perempuan, AA, berumur 9 bulan di Jakarta Timur, yang dilakukan pamannya, Z, 39 tahun, menyebabkan AS meninggal dunia (11/10/2013).
Baca juga: Infantophilia Adalah Laki-laki yang Memerkosa Bayi AA, 9 Bulan, di Jakarta Timur
Penyidik dari Subdit Remaja, Anak dan Wanita (Renakta), Ditreskrimum, Polda Metro Jaya, sedang menyelidiki kasus ini sehingga belum diketahui pasal yang dipakai untuk menjerat pelaku.
Hanya saja dari banyak kasus kekerasan seksual terhadap bayi dan anak-anak di bawah 12 tahun, pelakunya dijerat dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Sejatinya kekerasan seksual termasuk extraordinary crime (kejahatan yang luar biasa) sehingga ada ruang untuk ancaman hukuman mati.
Jika memakai perspektif, maka hukum penjara 15 tahun bisa berkurang karena ada pengurangan hukuman, sementara korban akan menderita sepanjang hayatnya.
Apalagi di Indonesia ada fenomena yang menjungkirbalikkan akal sehat yaitu sebagian orang, bahkan perempuan, selalu menyalahkan perempuan yang jadi korban kekerasan seksual.
Kondisi itu memberikan pembelaan kepada pelaku kejahatan seksual sehingga yang jadi sasaran stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negatif) justru korban. Ironis.
Selain itu polisi dan media juga memberikan ruang atau panggung pembelaan diri bagi pelaku kejahatan seksual yang disebarkan oleh media.
Baca juga: Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual dan Inses di Lampung, Polisi dan Wartawan Berikan Panggung Pelaku Bela Diri
Di pihak lain cara-cara pemberitaan sebagai media, dalam hal ini media massa (surat kabar, majalah, radio dan TV) serta media online (portal berita) juga merupakan 'the second rape' terhadap korban kekerasan sekual.
Baca juga: Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan
Sudah saatnya memetakan jenis-jenis kejahatan atau kekerasan seksual dengan ancaman hukuman yang berbeda. Dan, ancaman pejara bukan maksimal, tapi minimal. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H