Tampaknya, reporter dan kameraman stasiun TV selalu membawa-bawa meteran (alat untuk mengkur jarak atau ketinggian) ketika meliput banjir.
Buktinya, penyiar TV yang meliput banjir selalu  melaporkan ketinggian banjir dengan ukuran, seperti 30 sentimeter, 1 meter dan seterusnya dan seterusnya.
Astaga, bukan main. Mereka rupanya turun langsung ke lapangan untuk mengukur ketinggian air di tempat-tempat yang kebanjiran.
Kalau ketinggian banjir lebih dari satu meter tentulah reporter TV itu harus menyelam untuk menempatkan ujung meteran di dasar banjir dan menarik lurus ke atas permukaan air.
Mungkin tidak pakai menyelam, tapi dengan menancapkan kayu atau bambu di tempat yang banjir kemudian diukur bekas ketinggian air di kayu atau bambu.
Lalu, bagi warga yang ingin menembus genangan air harus mengukur tinggi badannya apakah aman melewati banjir berdasarkan informasi yang disiarkan TV.
Mengapa reporter TV tidak memakai ukuran yang umum dan mudah dipahami?
Misalnya, ketinggian banjir semata kaki, sedengkul orang dewasa atau sedada orang dewasa dan seterusnya .... Bisa juga dengan menyebut sebatas jendela atau atap rumah.
Secara umum perbedaan ukuran semata kaki, sedengkul dan seterusnya tidak jauh berbeda karena rata-rata tinggi badan warga tidak jauh berbeda.
Ini sudah menggambarkan kedalaman banjir tanpa harus menyebut ukuran dalam centimeter secara eksplisit.
Begitu juga dengan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi - Kementerian ESDM) yang selalu mengingatkan warga agar tidak mendekati puncak gunung berapi yang sedang meletus pada jarak aman sekitar kilometer dari puncak.
Busyet. Bagaimana caranya mengukur jarak aman sekian kilometer dari puncak Gunung Anak Krakatau, misalnya yang berada di tengah laut?
Lagi pula pakai alat fisik apa yang bisa mengukur sampai ribuan meter?
Lagi pula mengukur jarak dari puncak gunung berapi yang sedang bergejolak tentulah menantang maut.
Mengapa tidak membuat tanda fisik di tempat-tempat yang jadi batas aman dari puncak gunung berapi yang sedang meletus.
Kalau di laut, seperti Gn Anak Krakatau, bisa dengan pelampung.
Sedangkan di daratan bisa dengan tanda patok atau nama kampung, desa, atau kelurahan dan kecamatan. Ini juah lebih mudah dipahami warga daripadan menyebut angka berupa jarak dalam satuan meter.
Bagi pegawai PVMBG tidak masalah karena mungkin ada alat canggih yang bisa mengukur jarak ke puncak gunung berapi yang sedang meletus tanpa harus menarik tali.
Kalau demikan halnya perlu juga PVMBG menyedikan alat tersebut agar warga yang berkepentingan dengan jarak, misalnya, penduduk di lereng gunung berapi dan nelayan, diberikan alat tersebut agar terhindar dari bahaya.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H