Baca juga: Kaitkan Lesbian Langsung dengan Penyebaran HIV/AIDS Adalah Hoaks
Biarpun epidemi HIV/AIDS secara global sudah berlangsung sejak tahun 1981, tapi Pemeritah Indonesia baru mengakui epidemi HIV/AIDS ada di Indonesia pada tahun 1987, tapi sejauh ini banyak kalangan di Tanah Air yang belum atau tidak mau memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Buktinya, materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan 'seks bebas' (terminologi ngawur bin ngaco), seks menyimpang, zina, pelacuran dan LGBT.
Padahal, secara empiris penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, seks menyimpang, zina, pelacuran dan LGBT), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta medis!
Celakanya, program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dengan pijakan peraturan daerah (Perda) hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Dari lima program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand nomor lima (ekor) adalah 'program wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat pelacuran dan rumah bordir.
Langkah itu dilakukan Thailand setelah meningkatkan pemahaman warga dengan melibatkan media massa, ketika itu tahun 1990-an belum ada media sosial, (koran, majalah, radio dan TV) secara simultan dengan skala nasional.
Baca juga: Program Kondom Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand
Di Indonesia penggunaan kondom jadi program utama penanggulangan HIV/AIDS melalui Perda dengan kondisi tingkat pemahaman masyarakat terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS sangat rendah. Maka, terjadi penolakan dari banyak kalangan terkait dengan sosialisasi kondom untuk hubungan seksual berisiko.
Belakangan penanggulangan HIV/AIDS juga hanya terjadi di hilir, yaitu melakukan tes HIV terhadap kalangan tertentu melalui penjangkauan dan ibu hamil. Celakanya, suami ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif tidak semerta menjalani tes HIV sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.