Belakangan ini media massa (media cetak dan elektronik-terutama TV) dan media online serta berbagai kalangan mulai dari petinggi dan pejabat sampai pakar dan tokoh ramai-ramai bicara soal polusi udara khususnya di Jakarta.
Tapi, serasa ada yang mengganjal di pikiran. Soalnya, kita teriak-teriak tapi tidak berbuat yang konkret untuk menurunkan tingkat polusi udara, terutama di Jakarta dan sekitarnya.
Ibarat kata pepatah: Bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri!
KRL (kereta rel listrik), MRT (mass rapid transit/subway diindonesiakan jadi moda raya terpadu) dan belakangan LRT (light rail transit diindonesiakan jadi lintas raya terpadu), misalnya, memang memakai tenaga penggerak hijau yaitu daya listrik.
Tapi, perlu diingat daya listrik besar yang dipakai menggerakkan KRL, MRT dan LRT disediakan antara lain oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memakai batu bara untuk menghasilkan uap menggerakan turbin.
Begitu juga dengan stasiun-stasiun televisi (TV) yang berkoar-koar soal kualitas udara dan kaitannya dengan kesehatan warga, dalam hal ini ISPA (infeksi saluran pernapasan atas). Mereka yaitu stasiun-stasiun TV itu, juga memakai tenaga listrik, antara lain yang dihasilkan dari PLTU.
Hal yang sama terjadi pada kantor-kantor instansi pemerintah yaitu kementerian dan lembaga, termasuk istana. Kerlap-kerlip lampu, penggerak lift dan eskalator serta peralatan kantor memakai daya listrik yang antara lain bersumber dari PLTU.
Begitu juga dengan kendaraan bermotor dinas dan pribadi pegawai kementerian dan lembaga: Berapa persen yang sudah memakai energi baru terbarukan (EBT)?
Kalau saja kementerian dan lembaga menjadi pelopor pemakaian energi hijau sebagai sumber energy yaitu (EBT) antara lain melalui solar cell (sel surya) yang memanfaatkan sinar matahari atau PLTA (pembangkit listrik tenaga air) tentulah merupakan langkah yang arif dan bijaksana dalam memerangi polusi udara.