Sebuah studi yang dilakukan Gaya Nusantara di Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan Waria terbanyak adalah laki-lai beristri. Dalam kontak seksual para laki-laki beristri itu justru jadi 'perempuan' (ditempong), sementara Waria jadi 'laki-laki' (menempong). Para suami itu memberikan pembenaran terkait perilaku mereka, yaitu: mereka tidak mengikari cinta dengan istrinya karena mereka tidak memakai, maaf, penisnya.
Dalam berita disebutkan: Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya seperti suami pekerja seks dan kelompok MSM (man sex with man).
Secara empiris seorang PSK melayani 3-5 laki-laki setiap malam. Itu artinya lebih banyak suami yang berisiko menularkan HIV/AIDS ke istrinya karena seorang PSK panya satu suami. Sedangkan seorang MSM juga punya pasangan tetap sehingga kasusnya tidak banyak karena hanya penyebaran hanya di komunitas mereka.
Yang jadi persoalan besar adalah: Apakan suami ibu-ibu ruman tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS atau sifilis mejalani tes HIV dan tes sifilis?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya negara, dalam hal ini pemerintah melalui Kemenkes, membiarkan para suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS dan sifilis secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan pula: Ia (Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Muhammad Syahril) mengatakan, penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga karena pengetahuan akan pencegahan dan dampak penyakit yang rendah serta memiliki pasangan dengan perilaku sex berisiko.
Pengetahuan siapa, para suami atau ibu-ibu rumah tangga, yang rendah terkait dengan pencegahan HIV/AIDS dan sifilis?
Jika yang dimaksud pengetahuan ibu-ibu rumah tangga, pernyataan itu benar-benar naif karena sehebat apapun pengetahuan seorang ibu rumah tangga tentang HIV/AIDS dan sifilis dia tidak bisa meminta apalagi memaksa suaminya menghentikan perilaku seksual berisiko atau memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual suami-istri. Bisa-bisa istri akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perempuan, dalam hal ini istri, di Indonesia posisinya sebagi sub-ordinat sehingga di bawah kekuasaan laki-laki dan suami.
Lagi pula pemerintah, dalam hal ini Kemenkes dan jajarannya, tidak menyebarkan informasi tentang HIV/AIDS yang akurat melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Informasi tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS