"Na manjalaki hepeng do halai, Abang."
"Ulang be kehe Abang tu sadun."
"Nadong sudena i."
Itulah yang dikatakan keluarga dan kerabat kepada saya terkait dengan berobat alternatif karena santet yang saya alami.
"Na manjalaki hepeng do halai, Abang." (Mereka itu cuma cari uang, Abang). Ini dimaksudkan bahwa orang-orang yang membantu saya mengatasi dampak santet hanya mencari uang.
Tentu saja pernyataan saudara saya itu merupakan fitnah karena dia tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang membantu warga yang jadi korban santet, seperti saya, yang berobat ke Banten: Apakah benar harus membayar sekian rupiah?
Faktanya, hanya ucapan terima kasih seikhlasnya kecuali ada yang harus dibeli untuk bahan pendukung mengambil benda di badan, di rumah, di kantor atau di tempat usaha.
Pak Ajie di Cilegon, Banten, misalnya, jika ada yang harus dibeli dia selalu meminta yang berobat atau keluarganya yang membeli. Tapi, risikonya adalah benda atau minyak yang dibeli bisa palsu. Maka, yang berobat selalu minta bantuan Pak Ajie. Lagi pula harganya pun jauh lebih mahal kalau dibeli sendiri.
Maka, saudara saya itu sudah suuzan (prasangka buruk) dan menebar fitnah.
"Ulang be kehe Abang tu sadun." Ini maksudnya "Abang jangan lagi pergi (berobat) ke Banten."
Ini dikatakan oleh salah seorang saudara. Dia boleh-boleh saja mengatakan hal itu, tapi yang merasakan sakit saya sendiri sehingga kalau saya tidak ke Banten tentulah rasa sakit akan jadi beban.
Celakanya, ada saudara yang justru mengirim santet ke saya karena masalah yang sama sekali tidak saya urus yaitu soal harta warisan. Mereka menuduh saya menggelapkan sebagian harta warisan, padahal yang melakukannya bukan saya. Â
Salah satu tujuan santet kepada saya terkait dengan kondisi saya yang sudah jadi tumbal untuk pesugihan adalah harus celaka sampai invalid sehingga bisa mereka kuasai. Salah satu syarat tumbal adalah harus 'diumpani' yaitu kehidupan orang yang dijadikan tumbal dibiayai jika sakit sampai dimakamkan.
Kalau saya mengikuti anjuran saudara itu tidak berobat ke Banten, maka kalau benda-benda di tubuh dibiarkan bisa menimbulkan efek lain terhadap tubuh yang akhirnya menimbulkan penyakit. Benda-benda yang dikirim oleh dukun santet, seperti paku, beling, miang dan binatang hidup sudah dilumuri dengan racun.
Itulah yang saya alami sebelum saya bertemu dengan Bu Haji Emun di Pandeglang, Banten, dan Pak Ajie.
Berbagai macam penyakit mendera saya. Celakanya, obat-obat medis tidak bisa mengatasi symptom yang terkait dengan penyakit yang saya alami. Misalnya, persendian sakit, tulang rusuk sakit ketika bernapas, kepala nyeri dan lain-lain.
Bahkan, sampai sekarang telinga kanan saya tidak bisa mendengar dengan baik. Sudah berobat ke THT tapi tetap saja tidak baik. Belakangan, berdasarkan penglihatan Pak Ajie ternyata ada benang melilit gendang telinga yang merupakan kiriman dalam bentuk santet.
Benar saja. Ketika itu saya kelas dua SLTA di Kota Medan, Sumatera Utara, tahun 1971, ketika hendak pulang naik Bemo terasa ada benda masuk ke telinga kanan. Saya langsung ke RSU Pirngadi. Tapi, disebutkan tidak ada benda di telinga. Di Jakarta juga saya berobat ke Klinik THT dan Poli THT di RSUD, tapi setelah pengobatan tetap saja tidak bisa mendengar.
Benang itu dikirim oleh orang yang benci kepada (alm) ayah saya. "Kalau benang itu saya tarik gendang telinganya bisa rusak, Pak," kata Pak Ajie. Saya hanya bisa pasrah.
Begitu juga dengan mata kiri saya. Ada noktah hitam di bagian mata yang putih. Sudah berobat ke klinik mata terkenal di Jakarta, tapi tidak ada penjelasan apa objek itu. Bahkan, dokter di klinik itu justru beberapa kali mengingatkan saya agar jangan mau kalau ada yang menawarkan pengobatan dengan sinar Laser.
Belakangan saya ingat ketika menjenguk (alm) Ibunda di kampung di tahun 1990-an, suatu malam tiba-tiba penglihatan saya kuning. Saya tidak curiga karena waktu itu saya naik motor di malam hari. Tapi, ketika kembali ke Jakarta jika melihat ke tembok ada noktah hitam di mata kiri. Itu rupanya kiriman dari mertua salah satu keluarga di kampung karena saya tegur keluarga itu agar tidak menjual tanahnya.
"Nadong sudena i." (Tidak itu semua-maksudnya santet). Ini dikatakan oleh seorang kerabat.
Adalah hal yang susah meyakinkan orang lain sehingga saya memilih tidak mau berdebat soal santet. Lagi pula yang merasakan saya sendiri dan sudah lebih dua puluh orang yang saya bantu karena mereka sudah bantu berobat ke Banten. Mulai dari Sumatera, Kalimantan sampai Sulawesi, dari Hong Kong, Taiwan dan Timur Tengah. Bahkan, dari Jerman.
Tidak sedikit pula orang yang mengatakan bahwa santet bisa dihalau dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Ada kesan di sebagian orang saya orang yang tidak dekat kepada-Nya. Bahkan, orang sering bertanya tentang agama saya.
Ketika pertama kali ke rumah Bu Haji di awal tahun 2000-an, Bu Haji memandang saya sambil berdecak, "Kalau Bapak tidak rajin puasa Senin-Kemis dan salat malam, Bapak ke sini sudah di kursi roda."
Saya kaget karena sama sekali saya belum tahu persis apa yang terjadi pada diri saya. Ketika itu saya dibawa oleh seseorang ke rumah Bu Haji karena dia tahu persis di badan saya ada benda-benda kiriman berupa santet.
Setelah ditangani Bu Haji baru saya tahu bahwa saya dijadikan tumbal oleh keluarga mantan orang rumah, juga dua anak saya, untuk pesugihan sehingga mereka terus mengirim santet agar saya celaka dan sakit-sakitan. Kondisi inilah yang mereka harapkan sebagai syarat untuk tumbal pesugihan.
"Tumbal itu dipilih dari orang yang bersih dan baik," ujar Bu Haji mengingatkan saya. Untuk Bu Haji berpesan agar tidak mengubah sikap dan perilaku biarpun dijadikan sasaran santet dan tumbal. "Insya Allah Bapak selamat dan mereka menerima balasannya," kata Bu Haji.
Sampai sekarang kiriman santet masih terus terjadi  sehingga saya harus berulang-kali ke Banten ketika ada benda masuk ke tubuh saya.
Sejauh ini hanya sedikit dari banyak orang yang mau membantu dan mendoakan agar yang mengirim santet, dengan membayar dukun, berhenti. Sedangkan sebagian besar hanya bisa mencibir, mengejek bahkan menghina. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H