Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Serial Santet #41 Jadi Korban Santet dan Tumbal Pesugihan Malah Dihina

3 Juni 2023   14:21 Diperbarui: 3 Juni 2023   18:38 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: manado.tribunnews.com/Net)

Ini dikatakan oleh salah seorang saudara. Dia boleh-boleh saja mengatakan hal itu, tapi yang merasakan sakit saya sendiri sehingga kalau saya tidak ke Banten tentulah rasa sakit akan jadi beban.

Celakanya, ada saudara yang justru mengirim santet ke saya karena masalah yang sama sekali tidak saya urus yaitu soal harta warisan. Mereka menuduh saya menggelapkan sebagian harta warisan, padahal yang melakukannya bukan saya.  

Salah satu tujuan santet kepada saya terkait dengan kondisi saya yang sudah jadi tumbal untuk pesugihan adalah harus celaka sampai invalid sehingga bisa mereka kuasai. Salah satu syarat tumbal adalah harus 'diumpani' yaitu kehidupan orang yang dijadikan tumbal dibiayai jika sakit sampai dimakamkan.

Kalau saya mengikuti anjuran saudara itu tidak berobat ke Banten, maka kalau benda-benda di tubuh dibiarkan bisa menimbulkan efek lain terhadap tubuh yang akhirnya menimbulkan penyakit. Benda-benda yang dikirim oleh dukun santet, seperti paku, beling, miang dan binatang hidup sudah dilumuri dengan racun.

Itulah yang saya alami sebelum saya bertemu dengan Bu Haji Emun di Pandeglang, Banten, dan Pak Ajie.

Berbagai macam penyakit mendera saya. Celakanya, obat-obat medis tidak bisa mengatasi symptom yang terkait dengan penyakit yang saya alami. Misalnya, persendian sakit, tulang rusuk sakit ketika bernapas, kepala nyeri dan lain-lain.

Bahkan, sampai sekarang telinga kanan saya tidak bisa mendengar dengan baik. Sudah berobat ke THT tapi tetap saja tidak baik. Belakangan, berdasarkan penglihatan Pak Ajie ternyata ada benang melilit gendang telinga yang merupakan kiriman dalam bentuk santet.

Benar saja. Ketika itu saya kelas dua SLTA di Kota Medan, Sumatera Utara, tahun 1971, ketika hendak pulang naik Bemo terasa ada benda masuk ke telinga kanan. Saya langsung ke RSU Pirngadi. Tapi, disebutkan tidak ada benda di telinga. Di Jakarta juga saya berobat ke Klinik THT dan Poli THT di RSUD, tapi setelah pengobatan tetap saja tidak bisa mendengar.

Benang itu dikirim oleh orang yang benci kepada (alm) ayah saya. "Kalau benang itu saya tarik gendang telinganya bisa rusak, Pak," kata Pak Ajie. Saya hanya bisa pasrah.

Begitu juga dengan mata kiri saya. Ada noktah hitam di bagian mata yang putih. Sudah berobat ke klinik mata terkenal di Jakarta, tapi tidak ada penjelasan apa objek itu. Bahkan, dokter di klinik itu justru beberapa kali mengingatkan saya agar jangan mau kalau ada yang menawarkan pengobatan dengan sinar Laser.

Belakangan saya ingat ketika menjenguk (alm) Ibunda di kampung di tahun 1990-an, suatu malam tiba-tiba penglihatan saya kuning. Saya tidak curiga karena waktu itu saya naik motor di malam hari. Tapi, ketika kembali ke Jakarta jika melihat ke tembok ada noktah hitam di mata kiri. Itu rupanya kiriman dari mertua salah satu keluarga di kampung karena saya tegur keluarga itu agar tidak menjual tanahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun