Celakanya, masyarakat belum sampai ke tingkat gemar membaca (reading society) sudah dijejali dengan sinetron dan telenovela. Bahkan, ibu-ibu menonton sinetron dan telenovela sambil masak di dapur. Belakangan muncul pula drama Korea (Drakor) yang juga menjadi tontonan banyak kalangan.
Seorang teman membeli novel untuk dibaca putrinya sebelum menonton film yang diangkat dari novel tersebut. Tapi, putrinya justru memilih menonton daripada membaca novel terlebih dahulu.
Baca juga: Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat
Bang Hadi (Ashadi Siregar) novelis yang terkenal dengan trilogy Cintaku di Kampus Biru mengatakan bahwa yang bisa menulis puisi, cerpen, cerbung dan novel adalah orang-orang dengan perbendarahan kosa kata yang baik. Maka, dengan membaca perbendarahaan kosa kata pun otomatis akan bertambah.
Adalah alasan yang dicari-cari kalau disebut Internet sebagai biang keladi minat baca yang rendah karena di negara dengan densitas telepon dan internet yang hampir 100% minat baca dan menulis surat tetap tinggi.
Sekarang ini lalu-lintas surat pribadi melalui pos dengan prangko nyaris nol. Kegemaran menulis surat di kalangan masyarakat Indonesia juga sudah di titik nadir.
Celakanya, PT Pos Indonesia tidak mempunyai visi untuk meningkatkan minat masyarakat berkirim surat. Berkirim surat merupakan bagian dari membaca dan menulis.
Baca juga: Pos Indonesia, Kok Keok di "Core Business"?
Di sekolah pun tidak ada lagi pelajaran mengarang dan memberikan tanda baca pada sebuah karangan. Ini juga turut merusak literasi.
Sejatinya sekolah dan perguruna tinggi merupakan tempat untuk mendorong minat baca dan menulis.
Jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah yang strategis dan realistis untuk menyelamatkan minat baca masyarakat, maka kita akan jadi bangsa yang terbelakang.