Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Minat Baca Buku Anjlok Karena Masyarakat Dijejali TV dengan Sinetron dan Telenovela Sebelum Tahap Reading Society

26 Mei 2023   11:06 Diperbarui: 30 Mei 2023   16:03 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi -- (Sumber: wsj.com/Brian Stauffer)

Berita tentang Toko Buku (TB) Gunung Agung yang akan akan menutup seluruh cabangnya di berbagai wilayah pada tahun 2023 sangat menghentak.

Ketika belajar di Yogyakarta di awal tahun 1970-an tempat mencari buku dan alat tulis hanya di TB Gunung Agung di seberang Tugu dekat Pasar Kranggan di perempatan Jalan P. Mangkubumi dan Jalan Jenderal Sudirman. Toko itu belakangan jadi showroom motor.

Ketika di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), tahun 1980-an untuk mencari buku bacaan juga hanya di TB Gunung Agung di bilangan Kesawan.

Begitu juga di Jakarta sebelum ada Gramedia toko buku yang jadi tujuan adalah TB Gunung Agung di Kwitang di perempatan Senen, Jakarta Pusat.

TB Gunung Agung ini juga jadi tempat salat Jumat yang terkenal dengan khutbah yang keras. Padahal, itu di masa rezim Orde Baru (Orba). Beberapa kali penulis Jumatan di TB Gunung Agung Kwitang. Ada saja jamaah yang membawa 'beceng' (pistol) di pinggangnya.

Dikabarkan Gunung Agung tidak mampu lagi bertahan karena beban pengeluaran untuk operasional tidak lagi sebanding dengan pendapatan. Ini realistis karena pembeli buku turun, begitu juga dengan alat-alat tulis karena sekarang sudah paperless.

Literasi di Indonesia porak-poranda dan berada di titik nadir karena serbuan acara televisi, terutama telenovela dan infotaintment.

Baca juga: Menyoal Nilai Berita pada Acara Infotainment di Televisi

Sejatinya, masyarakat dengan literasi bermula dari reading society (masyarakat gemar membaca). Selanjutnya naik ke tahap writing society (masyarakata yang gemar menulis). Barulah ke tahap selanjutnya yaitu filming society (masyarakat yang gemar menonton film).

Secara harfiah warga yang membaca kabar, berita atau cerita di surat kabar, majalah dan novel (reading society) akan menuliskan resensi (writing society) yang dibaca. Kemudian jika ada cerita atau kisah yang diangkat ke layar lebar barulah warga menonton (filming society).

Celakanya, masyarakat belum sampai ke tingkat gemar membaca (reading society) sudah dijejali dengan sinetron dan telenovela. Bahkan, ibu-ibu menonton sinetron dan telenovela sambil masak di dapur. Belakangan muncul pula drama Korea (Drakor) yang juga menjadi tontonan banyak kalangan.

Seorang teman membeli novel untuk dibaca putrinya sebelum menonton film yang diangkat dari novel tersebut. Tapi, putrinya justru memilih menonton daripada membaca novel terlebih dahulu.

Baca juga: Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat

Bang Hadi (Ashadi Siregar) novelis yang terkenal dengan trilogy Cintaku di Kampus Biru mengatakan bahwa yang bisa menulis puisi, cerpen, cerbung dan novel adalah orang-orang dengan perbendarahan kosa kata yang baik. Maka, dengan membaca perbendarahaan kosa kata pun otomatis akan bertambah.

Adalah alasan yang dicari-cari kalau disebut Internet sebagai biang keladi minat baca yang rendah karena di negara dengan densitas telepon dan internet yang hampir 100% minat baca dan menulis surat tetap tinggi.

Sekarang ini lalu-lintas surat pribadi melalui pos dengan prangko nyaris nol. Kegemaran menulis surat di kalangan masyarakat Indonesia juga sudah di titik nadir.

Celakanya, PT Pos Indonesia tidak mempunyai visi untuk meningkatkan minat masyarakat berkirim surat. Berkirim surat merupakan bagian dari membaca dan menulis.

Baca juga: Pos Indonesia, Kok Keok di "Core Business"?

Di sekolah pun tidak ada lagi pelajaran mengarang dan memberikan tanda baca pada sebuah karangan. Ini juga turut merusak literasi.

Sejatinya sekolah dan perguruna tinggi merupakan tempat untuk mendorong minat baca dan menulis.

Jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah yang strategis dan realistis untuk menyelamatkan minat baca masyarakat, maka kita akan jadi bangsa yang terbelakang.

Soalnya, sebagian besar warga negeri ini hanya mengandalkan media sosial yang penuh dengan hoaks dan penyesatan dengan intrik-intrik ujaran kebencian yang dibumbui dengan sentimen agama. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun