Sayangnya, pakar hukum pidana, Heri Firmansyah, yang hadir dalam acara itu justru tidak memahami LGBT secara utuh. Hal yang sama juga disampaikan oleh mantan Ketua Komnas HAM priode 2017-2022, Ahmad Taufan Damanik.
Satu hal yang luput dari pembicaraan tersebut adalah LGBT (kecuali transgender) sebagai orientasi seksual sesungguhnya hanya ada di alam pikiran.
Baca juga: LGBT Sebagai Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran
Transgender, lebih dikenal sebagai Waria, ada yang orientasi seksualnya sebagai heteroseksual yaitu mereka yang menikah dengan perempuan dan mempunyai anak. Ada pula Waria dengan orientasi seksual sebagai homoseksual.
Sebuah studi di Surabaya, Jatim, tahun 1990-an menunjukkan pelanggan Waria umumnya laki-laki beristri dengan 1001 macam alasan. Bahkan ketika melakukan hubungan seksual dengan Waria para suami itu justru jadi 'perempuan' disebut ditempong (dianal) oleh Waria.
Lagi pula tidak sedikit kalangan heteroseksual yang melakukan perilaku seksual LGBT, misalnya suami yang memaksa istri seks oral dan seks anal atau posisi "69" (suami memasukkan lidah ke vagina dan istri mengoral penis suami) ketika sanggama.
Adalah hal yang mustahil alam pikiran bisa dijerat dengan hukum pidana.
Diskusi berpijak pada pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD, yang mengutip keterangan anggota DPR yang menggodok RKUHP bahwa LGBT tidak bisa dimasukkan ke KUHP karena hal itu kodrat.
Pembicara Taufik Damas, Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Jakarta di Nahdlatul Ulama, mengatakan bahwa pengalamannya menunjukkan kalangan LGBT justru kalau bisa memilih mereka akan memilih bukan terlahir dengan LGBT.
Persoalan jadi melebar karena sejatinya kodrat adalah yang dibawa sejak lahir. Laki-laki dengan penis, buah zakar, air mani dan sperma. Perempuan dengan vagina, rahim, indung telur, payudara, melahirkan dan menyusui.