Dari aspek epidemi kasus HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri sehingga penyebaran hanya terjadi di komunitas (lihat matriks AIDS pada gay dan heteroseksual).
Bandingkan dengan HIV/AIDS pada seorang laki-laki heteroseksual. Mereka punya istri, bahkan ada yang lebih dari satu, ada pelanggan PSK, penyuka waria bahkan ada juga yang biseksual.
Mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, jika berita dimaksudkan sebagai agent of change, dalam hal ini untuk mengajak masyarakat meninggalkan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS, maka yang dikedepankan adalah faktor risiko atau cara tertular HIV/AIDS terutama pada kalangan heteroseksual.
Sayang, dalam berita ini tidak ada penjelasan tentang faktor risiko pada kalangan heteroseksual. Bahkan, rincian kasus HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko juga tidak ada.
Dalam berita disebutkan: Tahun 2005 kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu-ibu.
Celakanya, tidak ada penjelasan siapa, bagaimana dan mengapa ibu-ibu itu tertular HIV/AIDS?
Kalau saja Dinas Kesehatan Kota Serang, Banten, dan wartawan membawa data ini ke realitas sosial tentu akan muncul gambaran ril tentang perilaku seksual laki-laki, dalam hal ini heteroseksual.
Berita ini hanya berkutat soal angka, dalam hal ini jumlah kasus, yang tidak menyentuh akar persoalan di ranah publik terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku seksual berisiko.
Bahkan pernyataan dalam berita ini justru menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS: Penyebab penularan HIV didominasi perilaku seks menyimpang seperti LSL.