Secara empiris, dalam sehari semalam mana yang lebih banyak warga yang menikah atau melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS di atas?
Sudah barang tentu risiko penularan paling banyak adalah jumlah warga yang melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS. Maka, yang perlu dilakukan adalah meminta agar warga tidak melakukan perilaku-perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Selain itu perlu diingat bahwa hasil HIV-negatif pada tes HIV calon pengantin bukan vaksin. Artinya, setelah menikah bisa saja salah satu dari pasangan tersebut melakukan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS sehingga tertular HIV/AIDS (Lihat matriks).
Soal temuan kasus HIV/AIDS pada ibu hamil: Perlu ada survei terkait pasangan yang HIV-negatif ketika menikah, tapi ketika istri hamil terdeteksi HIV-positif.
Ada lagi pernyataan: Untuk diketahui kasus HIV/AIDS masih menjadi perhatian penting bagi pemerintah daerah. Karena itu pemerintah gencar melakukan upaya-upaya penanggulangan seperti yang dilakukan oleh KPA. Melalui kegiatan pembentukan Warga Peduli AIDS (WPA) yang saat ini berlangsung di Desa Bakaran Wetan Kecamatan Juwana.
Pertanyannya adalah: Apakah WPA bisa menghentikan warga agar tidak melalukan perilaku-perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS di atas?
Dalam peraturan daerah (Perda) Kabupaten Pati Nomor 7 Tahun 2022 tenang Penanggulangan HIV dan AIDS di Pasal 16 ayat (1) disebutkan: Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan dengan upaya untuk:
a. tidak melakukan hubungan seksual -- ini jelas tidak masuk akal karena melawan kodrat, selain itu menyalurkan libido atau dorongan seksual merupakan hak setiap orang sehingga jika dilarang merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM)
b. setia dengan pasangan -- ini hanya komitmen yang secara empiris tidak ada jaminan bisa saling setia
c. menggunakan kondom secara konsisten -- kapan dan siapa yang harus menggunakan kondom pada hubungan seksual untuk mencegah HIV/AIDS