Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Lagi-lagi Timnas Sepak Bola Indonesia Jadi Korban Hiperrealitas Kali Ini U-17

10 Oktober 2022   20:18 Diperbarui: 16 Februari 2024   14:36 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas U17 Indonesia di Piala Asia U17 di Stadion Pakansari, Kab Bogor, 9/10-2022. Indonesia kalah 1-5 dari Malaysia (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Berita tentang timnas sepak bola Indonesia U-17 banyak yang tidak memberikan gambaran yang faktual sehingga mengabaikan kekuatan lawan

Untuk kedua kalinya tim nasional (Timnas) sepak bola Indonesia jadi korban hiperrealitas yaitu menjadikan kemenangan dengan tim-tim yang lemah sebagai patokan untuk juara.

Hiperrealitas adalah kodisi yang secara empiris tidak bisa membedakan antara fantasi (menang lawan tim lemah) dan kenyataan (tim dengan kualifikasi pemain yang lebih rendah).

Kemenangan dengan tim lemah merupapakan fantasi, sedangkan kekuatan tim lain merupakan fakta atau kenyataan yang diabaikan.

Pujian dan sanjungan terhadap Timnas Indonesia yang lolos ke putaran final Piala AFF 2010 di Stadion GBK Jakarta.

Baca juga: Timnas PSSI Korban Hyperreality Stasiun Televisi Nasional

Kekuatan Timnas Indonesia yang akan berlaga lawan Malaysia di final dikur dari kemenangan PSSI lawan Malaysia di babak penyisihan dengan skor telak 5-1. Tapi, ada yang tidak faktual di sini yaitu kekuatan kesebelasan Malaysia yang berlaga di babak penyisihan itu bukan kekuatan penuh karena Malaysia sudah memastikan diri lolos.

Ketika Indonesia berlaga di final melawan Malaysia di hari Minggu, 26 Desember 2010, Tiimnas berbekal kekuatan berupa kemenangan 5-1 di babak penyisihan. Tapi, itu hiperrealitas karena kekuatan murni Malaysia baru diturunkan di final. Mimpi buruk benar-benar terjadi: Malaysia cuku Indonesia denga skor telak 3-0.

Agaknya, hal yang sama  terjadi pada Timnas U-17 yang banjir pujian dan sanjungan terkait kiprah timnas U-17 di Grup B dengan mengalahkan Uni Emirat Arab (UEA), Palestina dan Guam dengan skor besar dijadikan patokan untuk menghadapi Malaysia.

Celakanya, analisis terhadap kekuatan Malaysia hanya dilakukan dengan membandingkan kemenangan Indonesia dan Malaysia dengan UEA, Palestina dan Guam.

Skor Indonesia vs Guam 14-0, Indonesia vs Palestina 2-0 dan Indonesia vs UEA 3-2.

Sedangkan skor Malaysia vs Guam 1-1, Malaysia vs Palestina 4-0 dan Malaysia vs UEA 3-2.

Jika disimak dari hasil laga di Grup B ini Indonesia lebih unggul dari Malaysia. Bisa jadi hasil imbang antara Malaysia dan Guam yang hanya bermain Imbang 1-1 dijadikan patokan.

Babak penyisihan di grup berdasarkan jumlah poin yang secara maksimal 12 yaitu hasil dari 4 kali menang. Jika terjadi poin yang sama maka juara berdasarkan selisih gol.

Ketika pertandingan setengah jalan yaitu 3 laga posisi Indonesia di atas angin karena mengantongi nilai 9 hasil dari 3 kali menang, sedangkan Malaysia dengan 7 poin hasil dari 2 kali menang dan 2 kali imbang (lawan Guam).

Bisa jadi hitung-hitungan Timnas Indonesia bertolak dari hasil tiga laga. Artinya bermain imbang saja dengan Malaysia sudah lolos ke babak selanjutnya. Karena dengan bermian imbang Timnas Indonesia pegang 10 poin sedangkan Malaysia 8 poin.

Yang dikhawatirkan hitung-hitungan inilah yang jadi patokan Timnas Indonesia ketika melawan Malaysia, apalagi ditambah pula dengan penampilan Malaysia yang haya bisa bermain imbang dengan Guam yang dihempaskan Timnas Indonesia dengan skor telak 14-0.

Pada kenyataannya Malaysia tidak mempunyai pilihan lain selain memenangkan laga dengan Timnas Indonesia karena dengan bermaimbang mereka tersisih.

Tentu saja pelatih Malaysia tidak akan pernah membuat scenario bermain imbang dengan Indonesia dengan posisi seperti yang mereka hadapi karena hal itu jadi bumerang yaitu tersingkir dari grup sehingga tidak bisa ke babak selanjutnya.

Yang perlu dipertanyakan adalah: Apakah pelatih dan official Timnas Indonesia menganalisis mengapa Guam bisa menahan imbang Malaysia yang termasuk tim terkuat di Grup B?

Bisa jadi pelatih Malaysia berpatokan pada hasil laga Indonesia lawan Guam dengan skor 14-0. Artinya, pelatih Malaysia melihat tidak perlu menurunkan tim inti ketika behadapan degnan Guam.

Hal yang sama tejadi di Piala Asia 2010. Media massa menonjolkan kekuatan PSSI yang mengalahkan Malaysia di babak penyisihan dan menunjukkan kelemahan Malaysia ketika dikalahkan PSSI yang ternyata bukan tim inti.

Celakanya, berita-berita kehebatan PSSI yang mengalahkan Malaysia tidak memberikan gambaran yang faktual tentang kekuatan tim ketika berlaga. PSSI dengan tim inti, sedangkan Malaysia dengan tim cadangan.

Tampaknya, kita terlalu mudah terbuai dengan berita dan kabar yang berbau hiiperrealitas. Seperti yang terjadi terhadap Lalu Muhammad Zohri, pemuda asal NTB, yang memenangkan lomba lari 100 meter (sprint) di Kejuaraan Amatir Inrternasional U-20 di Finlandia.

Baca juga: Banjir Pemberitaan tentang Zohri, Semoga Tidak Sampai pada Hiperrealitas

Pemberitaan tentang Zohri berkembang dengan gaya hiperbol [KBBI: ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang dibesar-besarkan (berlebih-lebihan), dimaksudkan untuk memperoleh efek tertentu]. Akibatnya, Lalu hanya jadi korban hiperrealitas media karena setelah kejuaraan itu Zohri tidak menunjukkan prestasi yang seperti 'diimpikan.'

Baca juga: Zohri "Korban" Hiperrealitas Pemberitaan Media

Berita tidak faktual karena lomba yang diikuiti Zohri itu adalah pertandingan atletik amatir. Kalau pro tentulah ada pelari-pelari (sprinter) 100 meter top dunia, seperti Usain Bolt, dengan catatan waktu 9,58 detik.

Tapi, Merah-Putih belakangan jarang berkibar di arena olahraga dunia, maka setiap kali Merah-Putih berkibar langsung di-blow up media yang sebagian besar dengan berita yang tidak objetif.

Kondisi di atas antara lain terjadi karena tingkat literasi bangsa yang rendah dan banyak yang hanya menjadikan media sosial sebagai patokan sumber informasi.

Tingkat literasi yang rendah antara lain terjadi karena serbuan televisi yang merusak media habit (kebiasaan bermedia) masyarakat Indonesia.

Baca juga: Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat

Sejatinya media habit bermula dari kebiasaan  gemar membaca (reading society) yang meningkat ke menulis (writing society) baru masuk ke ranah fim (filming society), dalam hal ini sinetron di televisi.

Tapi, masyarakat Indonesia belum sampai pada reading society sudah melompat ke filming society sehingga kebiasaan bermedia bangsa ini berantakan. Belakangan kondisnya kian runyam karena serbuan media sosial yang sebagian besar mengabaikan etika bermedia. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun