Hal yang sama tejadi di Piala Asia 2010. Media massa menonjolkan kekuatan PSSI yang mengalahkan Malaysia di babak penyisihan dan menunjukkan kelemahan Malaysia ketika dikalahkan PSSI yang ternyata bukan tim inti.
Celakanya, berita-berita kehebatan PSSI yang mengalahkan Malaysia tidak memberikan gambaran yang faktual tentang kekuatan tim ketika berlaga. PSSI dengan tim inti, sedangkan Malaysia dengan tim cadangan.
Tampaknya, kita terlalu mudah terbuai dengan berita dan kabar yang berbau hiiperrealitas. Seperti yang terjadi terhadap Lalu Muhammad Zohri, pemuda asal NTB, yang memenangkan lomba lari 100 meter (sprint) di Kejuaraan Amatir Inrternasional U-20 di Finlandia.
Baca juga: Banjir Pemberitaan tentang Zohri, Semoga Tidak Sampai pada Hiperrealitas
Pemberitaan tentang Zohri berkembang dengan gaya hiperbol [KBBI: ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang dibesar-besarkan (berlebih-lebihan), dimaksudkan untuk memperoleh efek tertentu]. Akibatnya, Lalu hanya jadi korban hiperrealitas media karena setelah kejuaraan itu Zohri tidak menunjukkan prestasi yang seperti 'diimpikan.'
Baca juga: Zohri "Korban" Hiperrealitas Pemberitaan Media
Berita tidak faktual karena lomba yang diikuiti Zohri itu adalah pertandingan atletik amatir. Kalau pro tentulah ada pelari-pelari (sprinter) 100 meter top dunia, seperti Usain Bolt, dengan catatan waktu 9,58 detik.
Tapi, Merah-Putih belakangan jarang berkibar di arena olahraga dunia, maka setiap kali Merah-Putih berkibar langsung di-blow up media yang sebagian besar dengan berita yang tidak objetif.
Kondisi di atas antara lain terjadi karena tingkat literasi bangsa yang rendah dan banyak yang hanya menjadikan media sosial sebagai patokan sumber informasi.
Tingkat literasi yang rendah antara lain terjadi karena serbuan televisi yang merusak media habit (kebiasaan bermedia) masyarakat Indonesia.
Baca juga: Televisi Mengubah Media Habit Masyarakat