Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hanya Warga yang Bisa Memutus Mata Rantai Penyebaran HIV/AIDS

1 Oktober 2022   00:07 Diperbarui: 1 Oktober 2022   00:13 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perilaku bersiko tertular HIV/AIDS ada di ranah privat sehingga hanya warga yang bisa hentikan perilaku berisiko untuk turunkan infeksi HIV baru

"Memutus Mata Rantai HIV/AIDS dengan Penguatan Hukum." Ini judul artikel Dede Suryanti (Konsultan Hukum yang Hobi menyuarakan Isi pikiran) di yoursay.suara.com (15/9-2022).

Yang pertama dalam artikel ini muncul juga mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, melalui pernyataan ini: Selain dari kejujuran, hal penting lainnya ialah keharusan untuk mengontrol diri agar tidak melakukan perilaku seks yang menyimpang. Anehnya, angka penularan semakin tinggi, meskipun sudah banyak pemberitaan mengenai bahaya perilaku seks menyimpang dan data mengejutkan terkait penularan HIV/AIDS.

Selanjutnya ada pula disebutkan: "Jajan"/prostitusi juga menjadi penyebab dari penularan HIV/AIDS, .... "

Sama sekali penyebab penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena 'perilaku seks menyimpang' dan 'jajan' serta prostitusi. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karen sifat hubungan seksual, dalam artikel ini 'seks menyimpang' tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (Lihat matriks sifaf dan kondisi hubungan seksual).

Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Hara
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Saat Terjadi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Hara

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987 sampai 31 Desember 2021 sebanyak 579.188 yang terdiri atas 445.641 HIV dan 133.547 AIDS (diolah dari laporan siha.kemenkes.go.id).

Secara emiris tidak ada yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS kecuali warga. Coba simak perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS berikut ini: Apakah pemerintah, instansi, institusi dan hukum bisa menjerat pelakunya?

Ini perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom, 

(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom. 

Tentu saja tidak bisa karena semua terjadi di ranah privat, bahkan ada yang legal secara agama dan hukum negara.

Yang bisa dilakukan, itu pun hanya sebatas menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru, seperti yang dilakukan Thailand, adalah intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) melalui program 'wajib kondom 100 persen.'

Laki-laki dipaksa memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil melalui mekanisme yang diatur secara hukum.

Tapi, praktek pelacuran harus dilokalisir. Pada perilaku di atas ada pada nomor 5. Tapi, di Indonesia program itu tidak bisa dijalankan karena praktek pelacuran tidak dilokalisir.

Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial yang membuat transaksi melalui ponsel dengan eksekusi sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Nah, pertanyaan untuk Dede: Bagaiman hukum bisa menghentikan perilaku seksual berisiko di atas?

Terkait dengan ' .... jika seorang penderita HIV/AIDS dengan sadar sengaja menularkannya kepada orang lain, maka ia akan mendapatkan hukuman yang berat' justru yang terjadi pada epidemi HIV/AIDS sekitar 90% penularan justru terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan.

Hal ini terjadi karena tidak otomatis ada ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral/ARV).

Kondisinya kian runyam karena media massa dan media online diperburuk pula oleh media sosia yang mengumbar berita dan artikel tentang ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala yang terkait HIV/AIDS tanpa mengaitkannya dengan prakondisi.

Baca juga: Gejala HIV/AIDS Tidak Otomatis Terkait dengan Infeksi HIV/AIDS

Akibatnya, banyak orang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS tapi tidak mengalami ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala AIDS sehingga mereka merasa tidak tertular HIV/AIDS. Dengan kondisi ini mereka tetap melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangannya, seperti istri, yang akhirnya terjadi penularan HIV/AIDS.

Baca juga: Gejala HIV/AIDS Tidak Otomatis Membuktikan Sudah Tertular HIV/AIDS

Maka, dengan kondisi di atas pernyataan Dede ini dengan sendirinya gugur: Jika Indonesia membuat aturan atau regulasi yang mengatur secara tegas mengenai akibat hukum penularan HIV/AIDS, maka akan dipastikan menekan angka penularannya.

Baca juga: Keluhan Kesehatan Tidak Otomatis Terkait dengan HIV/AIDS

Dede juga menulis: Kurangnya pendidikan seks patut dijadikan salah satu sebab mata rantai penularan masih tetap ada.

Pendikan seksualitas (bukan pendidikan seks) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan menyuburkan mitos.

Sosialisasi tentang HIV/AIDS juga sudah dilakukan sejak awal epidemi (1987), tapi hasilnya 'big nothing' alias nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS juga dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan menyuburkan mitos.

Sampai sekarang banyak warga yang tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat sesuai dengan fakta medis. Termasuk pernyataan Dede dalam artikel ini yang mengaitkan 'perilaku seks menyimpang' sebagai penyebab HIV/AIDS.

Padahal, dengan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat sudah merupakan 'vaksin HIV' sehingga terhindar dari risiko tertular HIV/AIDS.

Tapi, karena yang sampai ke masyarakat hanya mitos, maka risiko tertular HIV/AIDS terus terjadi melalui perilaku-perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS.

Orang-orang yang tertular HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun