Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada dua Waria di Barito Selatan, Kalteng, justru ditularkan oleh laki-laki heteroseksual pengidap HIV/AIDS
"Benar ada dua kasus Waria positif HIV/AIDS," kata Kepala Kemenag Barsel (Barito Selatan, Kalteng-pen.), Arbaja. Ia mengatakan dengan adanya kasus ini bahwa LGBT tidak boleh ada di bumi Dahani Dahanai Tuntung Tulus. Karena selain menyimpang dari ajaran agama, juga dapat menimbulkan penyakit HIV/AIDS. Ini ada dalam berita "Di Rapat Tolak LGBT Terungkap 2 Waria di Barito Selatan Positif HIV/AIDS" di borneonews.co.id (29/9-2022).
Ada beberapa hal yang luput dari perhatian terkait dengan pernyataan Arbaja, yaitu:
Pertama, LGBT ada di alam pikiran sehingga tdiak bisa dilarang keberadaannya karena tidak bisa dilihat secara fisik.
Baca juga: LGBT Sebagai Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran
Kedua, yang bisa dilihat secara fisik (kasat mata) dari LGBT hanya transgender atau lebih dikenal sebagai Waria.
Ketiga, adalah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) melarang keberadaan Waria karena mereka juga umat dan penduduk sebagai warga negara yang dilindungi UU.
Keempat, kalau disebut 'menyimpang dari ajaran agama' mereka terlahir dengan kondisi Waria, lalu siapa yang salah atau disalahkan.
Kelima, disebut '(Waria) juga dapat menimbulkan penyakit HIV/AIDS. Ini menyesatkan karena Waria tidak bisa menimbulkan penyakit HIV/AIDS karena HIV adalah virus yang menular dari pengidap HIV/AIDS (bisa Waria dan yang tidak Waria), sedangkan AIDS adalah kondisi bukan penyakit.
Hal yang luput dari perhatian Arbaja adalah fakta ini: yang menularkan HIV/AIDS kepada dua Waria itu adalah laki-laki heteroseksual yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.
Selanjutnya banyak pula laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari Waria pengidap HIV/AIDS tersebut (Lihat matriks kasus HIV/AIDS pada Waria di Barito Selatan).
Ketika dua Waria itu terdetksi mengidap HIV/AIDS berarti mereka minimal sudah tertular tiga bulan sebelumnya.
Maka, dalam rentang waktu 3 bulan sudah ada 540 laki-laki, antara lain penduduk Barito Selatan, yang berisiko tertular HIV/AIDS jika tiap malah seorang Waria ladeni 3 laki-laki (2 Waria x 3 laki-laki x 30 hari x 3 bulan).
Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS ke istri yang selanjutnya ke anak.
Sebuah studi di Surabaya, Jatim, awal tahun 1990-an menunjukkan pelanggan Waria justru laki-laki beristri. Celakanya, mereka jadi 'perempuan' (ditempong) ketika melakukan seks anal dengan Waria yang jadi 'laki-laki' (menempong). Kondisi ini membuat laki-laki berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Yang luput dari perhatian juga adalah jika orientasi seks Waria tersebut heteroseksual, maka itu artinya mereka punya istri dengan risiko menularkan HIV/AIDS ke istri yang selanjutnya ke anak.
Di bagian lain Arbaja mengatakan: "Jangan sampai kasus ini seperti gunung es, yang terlihat cuma dua. Namun, di tengah tengah masyarakat berkembang. Untuk seluruh tokoh masyarakat juga dapat bahu-membahu untuk menangkal dan mengantisipasi gerakan LGBT."
Ini pernyataan yang sangat naif karena Waria itu kasat mata sehingga tidak mungkin menyembunyikan diri.
Baca juga: Memberikan Pekerjaan Laki-laki Kepada Waria
Yang terkait dengan fenomena gunung es justru kasus HIV/AIDS. Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang jumlah kasus HIV/AIDS di Barito Selatan.
Yang perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Sejatinya, yang perlu disampaikan Arbaja adalah mengajak warga, khususnya laki-laki dewasa, warga Barito Selatan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) dan Waria agar segera menjalani tes HIV secara sukarela.
Langkah ini penting untuk mendeteksi pengidap HIV/AIDS di masyarakat Barito Selatan agar penyebaran HIV/AIDS bisa diputus.
Jika kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat tidak bisa dideteksi itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Barito Selatan terus terjadi bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H