Selanjutnya banyak pula laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari Waria pengidap HIV/AIDS tersebut (Lihat matriks kasus HIV/AIDS pada Waria di Barito Selatan).
Ketika dua Waria itu terdetksi mengidap HIV/AIDS berarti mereka minimal sudah tertular tiga bulan sebelumnya.
Maka, dalam rentang waktu 3 bulan sudah ada 540 laki-laki, antara lain penduduk Barito Selatan, yang berisiko tertular HIV/AIDS jika tiap malah seorang Waria ladeni 3 laki-laki (2 Waria x 3 laki-laki x 30 hari x 3 bulan).
Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS ke istri yang selanjutnya ke anak.
Sebuah studi di Surabaya, Jatim, awal tahun 1990-an menunjukkan pelanggan Waria justru laki-laki beristri. Celakanya, mereka jadi 'perempuan' (ditempong) ketika melakukan seks anal dengan Waria yang jadi 'laki-laki' (menempong). Kondisi ini membuat laki-laki berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Yang luput dari perhatian juga adalah jika orientasi seks Waria tersebut heteroseksual, maka itu artinya mereka punya istri dengan risiko menularkan HIV/AIDS ke istri yang selanjutnya ke anak.
Di bagian lain Arbaja mengatakan: "Jangan sampai kasus ini seperti gunung es, yang terlihat cuma dua. Namun, di tengah tengah masyarakat berkembang. Untuk seluruh tokoh masyarakat juga dapat bahu-membahu untuk menangkal dan mengantisipasi gerakan LGBT."
Ini pernyataan yang sangat naif karena Waria itu kasat mata sehingga tidak mungkin menyembunyikan diri.
Baca juga: Memberikan Pekerjaan Laki-laki Kepada Waria
Yang terkait dengan fenomena gunung es justru kasus HIV/AIDS. Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang jumlah kasus HIV/AIDS di Barito Selatan.
Yang perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.